Tentang Telaga
Telaga itu sedemikian menjanjikan. Riaknya setenang alunan tembang nirwana. Sejuknya mampu menggerus kerontang gurun. Namun ia, selalu, menjadikan aku tertegun.
Jangan
tanya, terlebih tentang telaga itu. Dan tidak ada yang tahu betapa
batinku seperti tercabik tiap kali harus memaparkan kesejatiannya. Tanya
yang kudengar laksana lesatan anak panah beracun yang mengincar gumpal
jantung, tapi jawab yang kulafaskan melebihi hujaman panah apa pun.
Menghabisi, membunuh keji.
Cukup.
Aku ingin berbalik dan meninggalkan telaga itu, membiarkannya menatap
mesra arakan mega putih di langit biru, membiarkannya disentuh sapuan
angin yang hadir menderu. Aku ingin pergi, lari, namun ia terus
memintaku untuk menunggu. Menabahkan diri sejenak lagi, dan ia berjanji
untuk menghampiri.
Telaga...
aku mengerti engkau berkasta. Tapi mengertikah engkau bahwa aku
memiliki lelah, lemah, dan juga jengah? Penantian ini terlanjur
mengundang rasa hampa. Aku tak mau nanti terbuta, dan tak sanggup paham
bahwa bukan hanya engkau satu-satunya telaga yang bertahta.
Cukup.
Aku ini manusia. Bukan awan yang bisa bercinta denganmu tanpa tujuan
apa-apa, bukan pula angin yang bisa membelaimu tanpa mengeluhkan
apa-apa. Aku punya cita, dan untuk itu aku harus pergi, lari. Tidak
menunggu lagi.
"Sabar...," bisikmu, "mungkin secepatnya."
Tidak.
Aku cuma ingin hari ini, saat ini, di detik yang ini. Dan bila engkau
tak juga menghampiri, izinkan aku kembali. Ke sungai itu, yang meski
keruh dan seolah tak berujung, tiada akan ia berdusta. Sebatas memicuku
untuk teguh berupaya, mengarungi tanpa jiwa hilang asa. Dan aku pun tahu
ia tidak pernah berjanji, tapi memberi, seandainya tapakku terhantar
nanti.
Telaga...
aku cuma ingin sekarang ini. Sebelum airmu terpercik ke tubuhku dan
membakar bagai api. Menghabisi, membunuh keji. Sama halnya dengan jawab
tentangmu yang harus kuurai hingga selesai. Kau... yang bergolak dan
mengintimidasi, menjadikan aku selalu tersaput ngeri.
*Catatan 04 Juli 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar