Pages

Senin, 09 Juni 2014

Tentang Kematian


Tentang Kematian


Sore. Hujan mengalir sendu dari atas sana, seiring mentari yang sengatnya tak mau mundur.  Langit menangis. Sekeliling saya menangis: beragam manusia, udara, bahkan barangkali benda yang tak punya nyawa. 

Wajar. 

Ada yang pergi, tadi pagi. Ada yang terambil, dari hati. Ada yang mengalun kembali ke ranah Illahi. Wanita itu memang sudah terlampau uzur, penyakit itu sudah terlampau mengimpitnya hingga ke taraf tak tertanggungkan, dan mungkin... hari ini memang sudah saatnya ia berpulang. Sepertinya.


Tak ada yang memilu pada batin saya kala pertama saya menjumpai raganya yang terbujur kaku, tak juga ketika saya mengaji lirih di sampingnya, bahkan sewaktu saya mememangku tubuhnya yang dimandikan. Batin saya seolah membeku, menjadi bongkahan es yang kokoh. Namun segalanya berubah tatkala keranda itu mulai dikeluarkan dari rumah duka, dibekali sejenak doa, lalu lambat-lambat dibawa menuju pembaringan terakhirnya. Bongkah es itu seketika hancur, mencair, meluber. Jadi tangis. Dan berbarengan dengan kaki-kaki saya yang mengantarkannya ke rumah baru, saya tergugu. Tidak terlalu keras, bahkan terbilang lirih. Namun saya tahu batin saya disapu perih.


Lantas dalam hening yang berbalut kebisuan saya mengucap ini: berjalanlah engkau... yang kusayang... berbahagialah di semestamu yang telah menunggu. Kini tak lagi ada yang akan mengusikmu, membebanimu, menyumbang derita pada dirimu. Tak juga penyakit itu, karena engkau telah bebas dengan sempurna, merdeka seutuhnya.

Kematian. Sekali lintas kata itu teramat mengerikan. Tak banyak kepala yang tertarik memikirkannya, bahkan terlalu banyak kepala yang mengusir kata itu jauh-jauh layaknya mengusir penjahat laknat. Kalau bisa, dibungkus koper kemudian dibuang ke tengah laut. Agar tak pernah ia gentayangan dan menghantui, membuat takut.

Kematian. Kata itu tak sebatas berhubungan dengan 'melepaskan' dan 'merelakan'. Segenap jiwa kita memang harus melepas dan merelakan mereka-mereka yang beranjak ke sisi Tuhan, tapi tidak berarti setelah itu saja semua akan beres. Ada hal-hal lain yang menggenang dan lantas membentur pemikiran. Kenangan. Cinta yang ikut tersakitkan. Dan ujung-ujungnya... kerinduan. 

Itu pasti. Selama hati belum tumpul dan otak masih normal, kerinduan niscaya bertamu ke ruang waktu. Entah sekali dalam seminggu, atau bahkan selalu. Entahlah, tak ada yang benar-benar tahu. Setiap diri punya grafik rindu yang strukturnya tak akan sama.

Lalu bukan itu saja. Kematian bagi saya juga memapah kita terisap pada konsep hidup. Masih pada saat langkah-langkah saya tadi menghampiri pemakaman, tiba-tiba saya merenung. Ternyata sesingkat inilah hidup, sependek ini. Mulanya saya tak total percaya, dan butuh sebuah peristiwa kematian di hari ini untuk akhirnya saya bisa betul-betul meyakininya. Kematian bak hanya berjarak sejengkalan tangan dari kita, bahkan mungkin lebih minim. Kematian bagai ranjau yang tersebar dan mengintai, dan kita adalah orang-orang yang bergulat di arena perang. Bisa kapan saja ranjau itu terinjak dan kita meledak, tinggal tunggu aba-aba dari Sang Pencipta.

Berikutnya, dalam benang merah yang masih serupa, kematian dengan khidmat menyeret saya untuk meninjau kembali makna kehidupan. Untuk apa embrio kita mengada, untuk apa kita dilahirkan, untuk apa kita tumbuh jadi balita, remaja, dewasa, tua, kemudian lanjut usia. Dan ternyata, jawabannya teramat sederhana: untuk mati.

Ya. Kematianlah muara dari segala-galanya. 

Namun ingatkah kita, bagaimana kita? Seringkali kita bersikap laksana akan hidup lestari, kebal ajal, dan memiliki sejuta nyawa. Kesombongan terus-terusan muncul dan mendominasi, lalu harta dan tahta terus-terusan diburu, diserbu, diperjuangkan meski harus keluar dari batasan halal, menghantam jalur haram, bahkan bertekad untuk terus-terusan begitu hingga mati. Padahal kalau sudah mati? Tamat. Berakhir. Dan seluruhnya otomatis tak berguna.  

Saya, hari ini, sungguh-sungguh menyadarinya. Sadar yang tak hanya pakai kepala, tapi juga mata yang ternganga, hati yang menghayatinya. Tak ada yang kita bawa ketika mati. Tidak handphone, laptop, mobil, gelar atau apa pun itu yang tergolong kemewahan kelas indah. Segala kekayaan mendadak seperti sampah, dan silahkan ambil siapa pun yang tergiur. 

Cuma amal kebaikan yang terserta untuk kita ketika mati, lalu helai kain kafan sebagai pakaian. Maka, sedianya kita menabung kebajikan demi kebajikan dalam bejana fana bernama hidup. Lakukan sebisa mungkin, sekerap mungkin, sehingga kita tak gentar tiap kali disodori ketentuan takdir: ranjau itu ada di mana-mana, bisa membunuh kapan saja.

Cuma dengan bekal kebajikan jalan kita menuju ke tanah itu terterangi, terindangi, dan kita dapat nyaman selamanya meringkuk di sana: rumah baru, yang sejatinya akan ditempati oleh semua dari kita. 

Karena kita dimulai di kehidupan, dan akan selesai di kematian.

Itu realitas yang hakiki.

Grandma... love you always...


*Catatan 14 Juli 2011.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar