Tentang Kematian
Sore. Hujan mengalir sendu dari atas sana, seiring mentari yang sengatnya tak mau mundur. Langit menangis. Sekeliling saya menangis: beragam manusia, udara, bahkan barangkali benda yang tak punya nyawa.
Wajar.
Ada
yang pergi, tadi pagi. Ada yang terambil, dari hati. Ada yang mengalun
kembali ke ranah Illahi. Wanita itu memang sudah terlampau uzur,
penyakit itu sudah terlampau mengimpitnya hingga ke taraf tak
tertanggungkan, dan mungkin... hari ini memang sudah saatnya ia
berpulang. Sepertinya.
Tak ada yang memilu pada batin saya kala pertama saya menjumpai raganya yang terbujur kaku, tak juga ketika saya mengaji lirih di sampingnya, bahkan sewaktu saya mememangku tubuhnya yang dimandikan. Batin saya seolah membeku, menjadi bongkahan es yang kokoh. Namun segalanya berubah tatkala keranda itu mulai dikeluarkan dari rumah duka, dibekali sejenak doa, lalu lambat-lambat dibawa menuju pembaringan terakhirnya. Bongkah es itu seketika hancur, mencair, meluber. Jadi tangis. Dan berbarengan dengan kaki-kaki saya yang mengantarkannya ke rumah baru, saya tergugu. Tidak terlalu keras, bahkan terbilang lirih. Namun saya tahu batin saya disapu perih.
Lantas
dalam hening yang berbalut kebisuan saya mengucap ini: berjalanlah
engkau... yang kusayang... berbahagialah di semestamu yang telah
menunggu. Kini tak lagi ada yang akan mengusikmu, membebanimu,
menyumbang derita pada dirimu. Tak juga penyakit itu, karena engkau
telah bebas dengan sempurna, merdeka seutuhnya.
Kematian.
Sekali lintas kata itu teramat mengerikan. Tak banyak kepala yang
tertarik memikirkannya, bahkan terlalu banyak kepala yang mengusir kata
itu jauh-jauh layaknya mengusir penjahat laknat. Kalau bisa, dibungkus
koper kemudian dibuang ke tengah laut. Agar tak pernah ia gentayangan
dan menghantui, membuat takut.
Kematian.
Kata itu tak sebatas berhubungan dengan 'melepaskan' dan 'merelakan'.
Segenap jiwa kita memang harus melepas dan merelakan mereka-mereka yang
beranjak ke sisi Tuhan, tapi tidak berarti setelah itu saja semua akan
beres. Ada hal-hal lain yang menggenang dan lantas membentur pemikiran.
Kenangan. Cinta yang ikut tersakitkan. Dan ujung-ujungnya... kerinduan.
Itu
pasti. Selama hati belum tumpul dan otak masih normal, kerinduan
niscaya bertamu ke ruang waktu. Entah sekali dalam seminggu, atau bahkan
selalu. Entahlah, tak ada yang benar-benar tahu. Setiap diri punya
grafik rindu yang strukturnya tak akan sama.
Lalu
bukan itu saja. Kematian bagi saya juga memapah kita terisap pada
konsep hidup. Masih pada saat langkah-langkah saya tadi menghampiri
pemakaman, tiba-tiba saya merenung. Ternyata sesingkat inilah hidup,
sependek ini. Mulanya saya tak total percaya, dan butuh sebuah peristiwa
kematian di hari ini untuk akhirnya saya bisa betul-betul meyakininya.
Kematian bak hanya berjarak sejengkalan tangan dari kita, bahkan mungkin
lebih minim. Kematian bagai ranjau yang tersebar dan mengintai, dan
kita adalah orang-orang yang bergulat di arena perang. Bisa kapan saja
ranjau itu terinjak dan kita meledak, tinggal tunggu aba-aba dari Sang
Pencipta.
Berikutnya,
dalam benang merah yang masih serupa, kematian dengan khidmat menyeret
saya untuk meninjau kembali makna kehidupan. Untuk apa embrio kita
mengada, untuk apa kita dilahirkan, untuk apa kita tumbuh jadi balita,
remaja, dewasa, tua, kemudian lanjut usia. Dan ternyata, jawabannya
teramat sederhana: untuk mati.
Ya. Kematianlah muara dari segala-galanya.
Namun
ingatkah kita, bagaimana kita? Seringkali kita bersikap laksana akan
hidup lestari, kebal ajal, dan memiliki sejuta nyawa. Kesombongan
terus-terusan muncul dan mendominasi, lalu harta dan tahta terus-terusan
diburu, diserbu, diperjuangkan meski harus keluar dari batasan halal,
menghantam jalur haram, bahkan bertekad untuk terus-terusan begitu
hingga mati. Padahal kalau sudah mati? Tamat. Berakhir. Dan seluruhnya
otomatis tak berguna.
Saya,
hari ini, sungguh-sungguh menyadarinya. Sadar yang tak hanya pakai
kepala, tapi juga mata yang ternganga, hati yang menghayatinya. Tak ada
yang kita bawa ketika mati. Tidak handphone, laptop, mobil, gelar atau
apa pun itu yang tergolong kemewahan kelas indah. Segala kekayaan
mendadak seperti sampah, dan silahkan ambil siapa pun yang tergiur.
Cuma
amal kebaikan yang terserta untuk kita ketika mati, lalu helai kain
kafan sebagai pakaian. Maka, sedianya kita menabung kebajikan demi
kebajikan dalam bejana fana bernama hidup. Lakukan sebisa mungkin,
sekerap mungkin, sehingga kita tak gentar tiap kali disodori ketentuan
takdir: ranjau itu ada di mana-mana, bisa membunuh kapan saja.
Cuma
dengan bekal kebajikan jalan kita menuju ke tanah itu terterangi,
terindangi, dan kita dapat nyaman selamanya meringkuk di sana: rumah
baru, yang sejatinya akan ditempati oleh semua dari kita.
Karena kita dimulai di kehidupan, dan akan selesai di kematian.
Itu realitas yang hakiki.
*Catatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar