Pages

Senin, 09 Juni 2014

Kereta... Oh Kereta...


Kereta... Oh Kereta...



Baiklah... hmf, setelah berbulan-bulan tidak melakukan update, setelah bersibuk-sibuk mengganti template dan tak menemukan yang sesuai dengan hati, setelah kerepotan mengganti alamat "rumah" plus mengganti judul tampilan dan kemudian mentok... inilah postingan perdana saya, sebagai sekuel dari postingan-postingan sebelumnya, yang barangkali tak ada yang terlalu penting.

Oke, dalam kesempatan kali ini saya akan membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan alat transportasi favorit saya: kereta api. 

Entah sejak kapan saya menggemari angkutan umum yang satu itu. Mungkin resminya sejak kali pertama saya masuk kuliah di Palembang dan sering menclok di atasnya. Yang jelas, ada daya magis yang membuat saya tersihir oleh rangkaian gerbong panjang mirip ular tersebut. Liukan-liukannya ketika melaju, decitan-decitan rodanya yang mencengkram kokoh hamparan rel, bahkan suasana di petak kendaraannya, menyembulkan semacam kekhasan yang mustahil saya jumpai pada alat transportasi komersial lainnya. Dan kekhasan itulah yang kemudian seperti menyeret saya dalam nuansa jatuh hati. Banyak sekali cerita yang saya dapatkan selama saya menjadi penumpang setia kereta api. Sedih, senang, lucu, dan juga sebal-sebalan. Amat beragam, dan berkombinasi jadi sensasi yang unik. Bahkan karena itu, otak saya tersambar inspirasi gemilang untuk suatu hari menuliskan kisah berunsur kereta api ke dalam sebentuk novel. Tapi itu baru angan-angan, sekalipun sudah dari jauh-jauh hari saya mendapatkan judulnya :p

Okay, back to main topic. Barangkali sekali lintas tidak ada yang istimewa dari kendaraan umum bernama kereta api. Dahulu pun saya berpendapat begitu. Tapi tidak setelah saya beroleh rupa-rupa makna dari ratusan perjalanan yang saya alami dengan menggunakan jasa transportasi tersebut. Saat masih zaman kuliah, paling tidak saya naik kereta dua kali dalam seminggu. Kalaupun ada yang dua kali dalam dua minggu atau dalam tiga minggu, itu terbilang jarang, karena semasa kuliah saya rutin mudik tiap minggu. Wait... mudik? Oke, kalau sudah tiap minggu mungkin sebutannya bukan mudik lagi, tapi "kesono-kemari" alias "wara-wiri" :)

Tapi begitulah. Tempat kuliah yang berada di kota besar dan rumah saya yang terletak di desa kecil, membuat saya terhubung terus-menerus dengan kereta api, bagai sapasang sahabat yang lengket dan tak mau lagi dipisahkan. Jika ditanya apakah tidak ada alternatif kendaraan lain untuk bepergian, jawabannya tentu "ada". Palembang―tempat kuliah saya―yang posisinya nun jauh di sana dari desa saya, bisa saja dijangkau dengan motor (kalau stamina mumpuni), atau dengan jasa travel. Tapi sebagaimana itu, tentu saya memilih kereta api sebagai pilihan karena saya punya alasan. Pertama, saya mustahil pakai motor lantaran saya tidak bisa mengendarai motor. Oke, ini aib dan silahkan tertawa sekeras tawa setan, tapi entah iya atau tidak, terus terang saya agak fobia menyetir motor. Dan kedua, saya terlampau enggan kalau harus pakai travel. Tahu kenapa? Karena "jelas" ongkosnya lebih mahal!

Tapi tunggu dulu, sebab itu bukanlah alasan inti. Di samping masalah keefesienan, bagi saya masalah keefektifan lebih penting untuk diperhitungkan. Naik travel, artinya mesti melancong ke loket yang bernaung di kota kecil dengan jarak cukup panjang dari desa saya. Dibutuhkan waktu kurang-lebih satu setengah jam untuk bisa sampai ke sana, waktu yang sungguh tidak sedikit. Sementara kalau naik kereta? Saya hanya perlu waktu sepuluh menit untuk mencapai stasiun, karena desa kecil saya memang memiliki stasiun kereta api, dan titik lebihnya... dekat dari rumah!

Terang sudah. Konsep ekonomis dan praktis. Demikianlah yang memicu saya untuk memanfaatkan jasa kereta api tiap ingin ke luar kandang. Dua alasan yang berfusi dan menggenapi, begitu kuat dan masuk akal. Dan saya percaya, bahwa tidak saja saya yang mempunyai pola pikir seperti itu, tapi juga orang-orang lain. Oke, mungkin sebagian orang tidak sepakat, terutama bagi mereka-mereka yang tidak terlalu menyukai kereta api, atau bahkan mengantipati. Itu wajar, karena tiap orang berdiri di garisnya masing-masing. Dan sepertinya itu hanya soal selera. Tapi bagi saya yang berlogika peka (ini kata-kata sombong, jangan dicontoh), tentu saya berani bilang begini: kenapa harus repot kalau ada jalur yang lebih enak? 

Terlepas dari semua itu, naik kereta sangat diwarnai suka dan duka. Well, saya akan mulai dengan sukanya. 

Tidak bisa dielak lagi, saya adalah seorang pengkhayal kronis. Di mana pun saya bertengger, jika itu memungkinkan, kepala saya akan mulai aktif merangkai imaji-imaji tanpa batas, terkadang liar, dan segalanya bergulir tanpa saya sanggup mencegahnya. Merujuk dari realita tersebut, sepanjang pengetahuan saya, kereta merupakan salah satu tempat ternyaman saya untuk berkhayal, selain kamar dan kamar mandi. Di atas kereta yang tengah berjalan perlahan, apalagi saat saya duduk tepat di pinggir jendela, seliweran imaji pasti akan langsung menjejali otak saya. Tidak jarang saya mendapat ide-ide antik nan segar untuk tulisan saya, berkat proses berkhayal alami itu. Dan sudah barang tentu saya diuntungkan. 

Tak hanya itu, zona suka lainnya pun ternyata masih ada, yakni terpenuhinya kebutuhan jiwa petualang saya. Benar. Pada dasarnya saya hobi berpetualang. Dan walau tidak pernah melakukan petualangan yang sesungguhnya, melalui perjalanan saya selama di dalam kereta, saya seolah telah melangsungkan suatu petualangan. Banyak yang terjadi pada petualangan saya itu, kesemuanya dijahit dan dibebat oleh semacam kesan yang tidak gampang dilupakan. Hingga kini kesan-kesan itu belum jua sirna dan masih menempel di dalam ingatan saya. Dan salah satu yang paling kental, adalah ketika gerbong kereta mati lampu dan sisa perjalanan saya ke Palembang harus dihabiskan dengan keadaan gelap-gelapan. Malam, gulita, tak bisa bergerak dan melihat dengan leluasa. Barangkali orang-orang kala itu berkeluh kesah, tapi tidak dengan saya. Duduk di tepi jendela dan merenung, saya malah tersenyum-senyum senang. Tatapan saya terlontar ke luar kaca jendela, dan saya ditakjubkan oleh kerlip-kerlip bintang di langit dan sinar bulan yang menimpa bumi, bahkan seperti turut menimpa wajah saya. Benar-benar eksotis. Mempesona. Dalam kondisi gerbong terang mungkin pemandangan itu akan nampak biasa-biasa saja, tapi ketika gerbong diselimuti kepekatan, mendadak pemandangan itu jadi dominan dan mencolok elok. Terlihat begitu jelas. Saya seperti menyatu dengan langit yang membentang luas, dan saat kereta melewati deretan rerimbaan, saya merasa seakan sedang dibawa menembusi hutan Amazon yang misterius tapi cantik. Terdengar konyol? Mungkin. Tapi bagi saya, itu adalah pengalaman yang istimewa. 

Poin suka seterusnya adalah bertambahnya teman baru. Tidak satu-dua kali saya mendapat teman baru ketika naik kereta. Entah itu cewek, cowok, sebaya dengan saya ataupun lebih tua dari saya, mbak-mbak, mas-mas, atau bahkan ibu-ibu dan bapak-bapak. Dan orang-orang itu berasal dari berbagai latar belakang kehidupan, status, juga profesi. Hanya segelintir saja yang kemudian bertahan menjadi teman saya, karena perpisahan mutlak terjadi setelah hari perkenalan itu. Tapi sekalipun mereka hilang dari peredaran hidup saya, paling tidak mereka tercemplung dalam daftar orang-orang yang sudi berkenalan dan mau menjadi teman saya. Untuk catatan, saya tergolong manusia yang lumayan sukar bergaul. Maka kalau sampai saya bisa berkenalan dan menjalin pertemanan―sekalipun temporer―dalam sekali jumpa dengan orang lain, berarti saya hebat dan layak dihujani sorakan tepuk tangan :D

Nah, kini tibalah saya beranjak ke sisi duka. Phuh. Kata orang, naik kereta api lebih banyak dukanya daripada sukanya. Dan menurut saya? Hm... tidak juga. Mungkin karena saya penggemar berat yang cukup susah untuk berkhianat (tersenyum bangga dan memamerkan gigi).

Baiklah, di antara duka naik kereta api yang pasti diasumsikan seabrek-abrek, di sini saya akan mengulas garis besarnya saja. Pertama, duka naik kereta api adalah manakala sang "primadona" itu tak muncul-muncul di stasiun, padahal sudah ditunggu sekian jam dari siang hingga sore, bahkan terkadang malam. Para penanti kereta layaknya saya memang dituntut punya kesabaran ekstra. Apalagi kedatangan kereta kerap tidak menentu. Kadang normal, kadang cepat, tapi kadang ngaret minta ampun. Semua tergantung pada kelancaran perjalanan kereta itu sendiri.

Duka lainnya yakni ketika kereta sedang penuh sesak. Jangankan untuk duduk dan berkhayal-khayal ria, untuk berdiri dan bernapas tentram pun sulit bukan kepalang. Tapi masa-masa seperti ini tidak terjadi terus-menerus, hanya pada saat hari-hari khusus yang membuat arus pulang dan arus balik dibeludaki penumpang. Dan ketika tiba momen-momen penurunan jumlah penumpang, otomatis gerbong kereta melengang dan longgar. Tidak hanya duduk, bahkan orang-orang bisa tidur terlentang di atas jok.

Bertemu dengan manusia-manusia yang pelit berbagi tempat duduk. Inilah duka yang paling menyesakkan. Pernah sahabat saya mengomel panjang-pendek ketika berhadapan dengan manusia-manusia jenis tersebut. Waktu itu sedang musim liburan sekolah dan kuantitas penumpang melonjak drastis. Kami harus pintar dan sigap mencari bangku kalau tidak mau berdiri terlunta di lorong gerbong atau bahkan di depan pintu WC. Dan apesnya, waktu itu kami dipeliti oleh penumpang yang padahal bangkunya masih muat diduduki dua orang lagi. Dia tidak mengizinkan kami duduk dengan alasan bahwa bangku itu telah penuh dan si penunggunya sedang ke kamar mandi. Tapi setelah saya dan sahabat saya berdiri terhuyung-huyung di lorong gerbong, ternyata bangku itu tetap kosong bahkan setelah nyaris satu jam. Please think. Mana ada orang pergi ke kamar mandi sampai sebegitu lama, kecuali di kamar mandi dia tiba-tiba melahirkan atau at least, ketiduran. Dan sahabat saya yang memperhatikan itu, tak dapat lagi membendung unek-uneknya. Beruntung dia cuma melontarkannya dengan menggumam. Kalau dia mencetuskannya di depan "si pelit" tadi, saya yakin akan meletus sebuah pertumpahan darah (oke, ini berlebihan). Begitulah. Di dalam kereta memang banyak sekali bergentayangan manusia-manusia egois yang tidak punya perasaan, tidak tahu diri. Mereka tidak secuil pun menghiraukan nasib orang lain. Terserah orang lain mati gempor lantaran berdiri, yang penting mereka bisa tidur selonjoran dengan sejahtera. Sungguh kejahatan sosial yang terkutuk! 

Tapi saya bersyukur, karena saya lebih kerap bertemu dengan orang-orang yang baik hatinya, mau membagi kursinya dengan bahasa wajah dan bahasa tubuh yang ramah dan ikhlas. Bahkan terkadang, mereka rela bersempit-sempit demi menyelusupkan saya di bangku mereka yang sebetulnya sudah tidak punya lagi space. How lucky I am. Apakah ini karena saya juga kerap melakukan hal yang serupa? No, sepertinya tidak. Ini pasti karena aura paras saya yang memancarkan daya pikat nan putih, yang membuat siapa pun luluh hatinya dan mau tak mau menjadi welas asih (ngelantur...).

Duka berikutnya adalah para pengamen yang datang-pergi silih berganti. Oh God. Entah ada berapa pengamen yang menebar "perform" di sepanjang perjalanan. Ada yang suaranya cukup oke dan layak diberi receh (atau uang kertas, atau bahkan cek). Ada yang suaranya bikin orang-orang memekik dalam batin: stop it, suara lo kayak mau ngebunuh gue! Dan ada lagi yang suara ancur, tampang ancur (maaf), tapi raut mukanya mengguratkan kemelasan tingkat dewa. Model beginilah yang membuat orang-orang dirembesi rasa iba dan tergugah untuk merogoh kocek mereka demi bersedekah. Namun di antara tipe-tipe pengamen di atas, ada yang paling saya―dan pastinya semua orang selain saya―benci. Siapakah dia? Pengamen yang tak beretika! Ya. Pengamen yang akan mengumpat frontal jika tidak "dibayar", terkadang agak memaksa, bahkan pernah mereka membangunkan saya yang tengah tertidur dengan menggoyang-goyangkan wadah uang mereka―bungkus permen dengan gerombolan uang logam sebagai kencringan bunyi―di depan wajah saya. Meski kemudian saya terusik, tentu saya yang seorang preman kereta cuek-cuek saja. Tetap pura-pura tidur dengan tetap menutup mata, dan membiarkan pengamen sialan itu minggat dari hadapan saya. Betul-betul saya heran dengan pengamen yang demikian. Haruskah saya memberi mereka uang, sementara saya tidur dan tidak mendengar mereka bernyanyi? Haruskah mereka sebegitu "santun", sampai-sampai membangunkan saya dengan cara sebrilian itu? Dalam benak, saya bertanya-tanya ketus: sebenernya elo ngamen apa nodong?

Duka selanjutnya yakni keriuhan suasana di gerbong kereta dan bebauan tak sedap yang mengepung dari segala arah. Sahabat saya salah satu orang yang paling mempersoalkan dan terganggu dengan perkara yang satu ini. Ada kalanya titik-titik di radius bangku yang kami duduki aman dari terpaan bebauan, meski keberisikan tetap menerjangi gendang telinga (hei, namanya juga sarana transportasi umum, kalau mau hening dan tenang kenapa tidak bertapa saja di kuburan Cina?). Tapi ada kalanya kami apes. Duduk di dekat WC yang aromanya memabukkan, ditambah bau pempek pedagang asongan yang menurut sahabat saya menyengat dan bikin mual, ditambah bau keringat dari orang-orang di samping dan depan kami, dan harus pula ditambah dengan asap rokok yang beterbangan gemulai, menerpa hidung, meracuni paru-paru. Sungguh paket yang luar biasa lengkap. Dan tinggallah kami megap-megap, duduk gelisah sambil berkipas-kipas, membisikkan gerutu pada satu sama lain.

Duka yang terakhir adalah kegiatan mengantre tiket di stasiun. Ketika hendak ke Palembang dari desa saya, memang saya tidak perlu berpayah-payah melakukan itu, dengan ganjaran tidak bisa memiliki tiket. Tapi ketika dari Palembang dan saya hendak pulang ke desa saya? Harus!

Sebenarnya mengantre tiket tidak memulu menjengkelkan. Tergantung situasi. Jika penumpang sedang sepi, kegiatan mengantre tiket akan menjadi ritual yang serupa dengan rutinitas konvensional lainnya, bahkan kadang menyenangkan dan saya bisa mengantre sembari berkhayal ringan. Tapi kalau penumpang sedang ramai, maka mengantre tiket akan terasa begitu menyiksa. Penderitaan keji!

Menyinggung masalah antre tiket dan penderitaan, baru-baru ini pun saya mengalaminya. Tepatnya dua hari sebelum lebaran Idul Adha, saya pergi ke stasiun Kertapati untuk pulang ke desa saya. Malam hari sebelum hari itu, Ayah saya menelepon dan menyuruh saya untuk datang lebih awal ke stasiun, karena katanya penumpang sedang membanjir. Tapi saya acuh tak acuh dan datang sebagaimana waktu-waktu biasanya, setengah tujuh pagi dari rumah. Hasilnya? Orang tua tak pernah salah!

Saya pikir hari raya Idul Adha tidak terlalu berpengaruh terhadap jumlah penumpang kereta api, karena mungkin, banyak orang yang tak memutuskan pulang ke kampung halaman. Toh Idul Adha tidak seheboh perayaan Idul Fitri, dan libur untuk hari besar itu pun sangat singkat. Tapi nyatanya, fakta bicara lain. Terlalu banyak orang yang punya kampung halaman dan ingin menghabiskan hari raya kurban bersama keluarga di rumah asal mereka. Tak peduli seberapa singkat libur dari lebaran itu. Dan yang menciptakan kepelikan, orang-orang tersebut meminati kendaraan yang sama: kereta api. Walhasil, ketika pukul tujuh kurang saya menginjakkan kaki di stasiun Kertapati, para pengantre tiket telah memanjang dan luber hingga menyentuh pelataran parkir. Saya menelan ludah melihatnya, dan tiba-tiba takut tidak kebagian tiket.

Tegang dan resah, saya nekat untuk berdiri di ujung antrean. Orang-orang yang datang setelah saya langsung menghambur untuk mengantre di belakang saya, rapat dan berdesakan. Badan saya yang kecil, tak pelak jadi korban sebelum hari raya kurban. Saya terimpit dan terjepit oleh badan-badan besar orang yang berdiri di depan dan di belakang saya. Tapi saya tetap bertahan. Tepat pukul tujuh, loket dibuka. Berangsur-angsur orang yang mengantre di depan saya menyusut, berlalu dengan membawa tiket yang telah mereka dapatkan dari petugas loket. Saya was-was karena antrean masih amat panjang. Dan ketika saya yang tadinya baris di luar berhasil merangsek ke pintu masuk stasiun, ketika orang-orang yang mengantre di depan saya tinggal kira-kira dua puluh orang... tiket habis!

What? How pity I am...

Nyaris saya menjerit frustasi, dan nyaris saya menyambangi petugas loket demi merengek-rengek padanya untuk disediakan satu tiket bagaimana pun caranya, selayak anak kecil merengek minta dibelikan balon. Tapi untunglah saya masih waras dan masih bisa mengontrol diri. Seraya berjalan lemas tanpa gerundel, saya berusaha menerima suratan nasib. Keluar dari stasiun bersama jubelan orang-orang yang menerbangkan jutaan dumel. Tapi lucunya, masih juga ada orang-orang yang tidak bergeser dari baris antrean, sekalipun tirai loket telah ditutup telak dan pengumuman tiket habis telah berkumandang berkali-kali dari pusat informasi.

Actually, fenomena kehabisan tiket tak akan terlalu menyakitkan, andai peraturan PT KAI masih sama seperti dulu. Sekadar info, terhitung sejak bulan Oktober (kalau tidak salah), PT KAI memberlakukan peraturan baru mengenai sistem angkut (atau sistem apalah saya kurang mengerti bahasa pastinya). Sistem baru itu yakni hanya menjual seratus persen tiket yang mencantumkan nomor tempat duduk, yang artinya, PT KAI tidak lagi menjual tiket berdiri. Dulu, segila-gilanya ledakan calon penumpang yang memadati stasiun, orang-orang tak dibuat begitu khawatir lantaran masih ada tiket berdiri sebagai penolong. Jadi kalaupun tidak kebagian tiket duduk, asal punya tiket berdiri, jiwa-raga tetap bisa terangkut oleh kereta dan terhantar sampai tujuan. Lagipula, di kondisi genting dan mendesak, orang-orang tak mungkin lagi memikirkan bisa duduk atau tidak. Yang terpenting bisa naik ke dalam gerbong dan bisa tiba di rumah dengan selamat. Itu saja. Titik!

Namun kini, semua telah berubah. Tanpa memiliki tiket duduk, orang-orang tak diperbolehkan menaiki kereta. Bahkan demi memperkuat peraturan itu, gerbang peron dijaga ketat oleh petugas PT KAI dan aparat. Mereka melakukan pemeriksaan tiket pada penumpang yang hendak melintasi peron, satu per satu, dan pemeriksaan itu berlangsung dengan ketat nan awas. Yang lebih hebatnya lagi, sekarang istilah "pengantar" penumpang tidak lagi berlaku. Para pengantar yang menemani sanak saudara, sahabat, teman, pacar atau siapa pun, tidak diperkenankan memasuki kawasan inti stasiun. Cukup mengantar sampai di depan peron, mentok sampai di situ, karena yang diizinkan melewati pintu peron hanya orang-orang yang mempunyai lembaran tiket. Entah apa sebabnya, saya tidak terlalu tahu. Barangkali hal itu digalakkan untuk menyiasati manusia-manusia nakal yang berlagak jadi pengantar, tapi tahu-tahu menyusup sebagai penumpang gelap tanpa tiket.

Jelas peraturan baru ini direspons oleh pro dan kontra yang tidak sepele. Lebih-lebih mengenai poin pertama. Alangkah tragisnya orang-orang yang tidak kebagian tiket, sementara mereka telah mengantre terpegal-pegal, tersengal-sengal, terkesal-kesal. Tak ditampik, peraturan baru itu diadakan demi meningkatkan kenyamanan para penumpang. Supaya gerbong tidak padat sesak, tak ada penumpang yang berdiri seperti anak tiri, dan barangkali juga untuk menimalisir kejahatan di atas kereta. Tapi apa pun itu, saya tetap miris, karena peraturan baru yang terjelma seakan membuat shock saking tidak biasanya. Bagaimana tidak? Orang-orang yang dapat tiket dan boleh naik ke gerbong memang akan disuguhi kenyamanan, bisa tersenyum bahkan tertawa. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang tidak dapat tiket dan tidak terangkut? Mereka gigit jari, seakan dihujani kalimat "good bye, ke laut aja lo", dan sudah tentu gondok tak terukur. Menurut saya, tercipta sebuah ketimpangan yang memprihatinkan di sini. Terlebih tidak terjalinnya keseimbangan antara stok tiket yang disediakan dengan kapasitas calon penumpang yang meluap bagai lautan manusia. Terlabih, saya pernah mengalaminya sendiri.

Now, let's back to my story. Setelah pasrah dan melapangkan dada seluas lapangan bola, saya yang tidak bisa pulang karena perkara tiket, memutuskan untuk menunda keberangkatan. Salah sendiri datang siang, demikian hati saya mencemooh. Maka saya pun bertekad untuk esok harinya bangun jam empat pagi, bahkan jika perlu jam tiga pagi. Dan itu sungguh-sungguh kejadian. Hari berikutnya saya bangun pagi sekali, rekor terbaru saya semasa hidup. Dan tepat pukul setengah lima subuh, saya telah siap dan keluar dari rumah. Awalnya saya agak linglung. Saya mau naik apa? Mana ada angkot dan bus pada jam seperti itu. Bahkan mungkin ayam pun belum berkokok.

Untungnya tepat ketika saya sampai di jalanan depan untuk mencari kendaraan, seorang lelaki paruh baya menghampiri saya dengan motornya. Rupanya ia seorang tukang ojek (salut sekali, karena dalam waktu sepagi itu ia telah stand by cari rezeki). Melihat saya dengan tas ransel tergandul besar di bahu, serta merta ia menawari saya untuk menggunakan jasanya. Langsung tanpa menakar dan menimbang, saya terima tawaran itu. Setelah saya menyebut bahwa saya hendak ke stasiun, saya bertanya berapa kira-kira ongkos yang harus saya berikan. Karena kala itu masih sangat pagi, tukang ojek itu mematok harga sebesar Rp 15.000 (eh, atau sepuluh ribu ya?). Entahlah, saya sudah lupa, dan tampaknya amnesia yang mendera saya mulai wajib ditanggulangi :D

Akhirnya saya melancong bersama tukang ojek itu, menyusuri jalanan sepi yang masih dirambati kegelapan. Saya lumayan kedinginan, tapi saya tidak peduli. Satu yang saya inginkan: dapat tiket dan bisa pulang. Saya bisa mati penasaran kalau sampai hari itu pun saya kembali gagal untuk pulang.

Tiba di stasiun, suasana masih belum ramai. Tapi kendati demikian, kendati pintu stasiun pun masih dikunci, beberapa gelintir calon penumpang telah terlihat di sana-sini, menanti dengan tabah sembari duduk-duduk di teras atau berdiri gelisah. Saya merasa aman. Mustahil saya tidak kebagian tiket, begitu pikiran saya. 
Sekitar lima belas menit menunggu, pintu stasiun dibuka. Orang-orang yang sudah tidak sabar untuk masuk langsung menghambur menerobos ambangnya, bahkan setengah berlari, membuat saya yang tersenggol nyaris terpental. Diam-diam saya menghela napas. Bahkan di kondisi pagi yang notabene masih sepi, atmosfer kompetisi sudah mulai menyala dan mengental. How great...

Tak lama setelah saya menggapai posisi antre, para calo terlihat ikut mengantre, bahkan salah satu diantara mereka telah berdiri di posisi paling depan. Dalam batin, saya tergeleng-geleng, terkesima atas kegesitan mereka. Oke, itu tidak masalah. Tapi kemudian terjadi seuntai masalah. Para calo itu menegur para calon penumpang di baris anteran, nyaris satu per satu, dan tebak mereka begitu untuk tujuan apa? Untuk meminta tolong dibelikan tiket. Menitip!

What? Alangkah canggihnya mereka.

Oke, mereka begitu demi cari makan. Tapi tahukah mereka bahwa kelakuan mereka yang satu itu amat tidak terpuji? Saya bisa memaklumi profesi mereka, termasuk alasan-alasan mereka menjadi calo. Tapi menitip tiket pada calon penumpang, kemudian menjualnya pada calon penumpang lain yang tidak kebagian tiket dan tentunya dengan harga yang berkali-kali lipat... sungguh sebuah hal yang lucu. Kejahatan yang rangkap-rangkap. Ajang eksploitasi!

Lalu tibalah giliran saya. Dengan ramah dan lembut salah satu dari calo-calo itu menegur saya, bertanya basa-basi ke mana saya akan pergi, dan ujung-ujungnya meminta tolong untuk dibelikan tiket, dengan wajah menyeruakkan permohonan tinggi. Tapi tunggu dulu. Saya tidak akan sebodoh itu untuk langsung setuju dan berkata: iya. Pertama, saya bukan tergolong orang yang baru naik kereta dua-tiga kali dan tidak tahu bahwa mereka adalah "calo". Kedua, saya adalah "preman" kereta, jadi mana ada preman yang mau dirinya dimanfaatkan.

Dengan santai, saya berkata pada calo itu bahwa saya akan pulang dengan teman-teman saya, dan saya harus membeli tiket lebih dari dua, dan jumlah tersebut merupakan jumlah maksimal tiket yang bisa dibeli. Sebagai info tambahan, sejak dahulu kala memang terdapat peraturan mengenai batasan maksimal tiket yang bisa dibeli oleh calon penumpang, dan petugas loket tidak akan melayani penjualan tiket yang melebihi batasan yang telah ditetapkan.

Akhirnya, si calo menyerah, dengan wajah cukup kecewa ia berpaling pada calon penumpang lain dan melanjutkan aksinya.

Namun demikian, bukan berarti masalah selesai sampai di situ. Jarum jam yang terus bergulir membuat baris antrean kian memanjang dan berdempetan parah. Saya mulai sesak napas, panas, dan mulai tidak betah. Dan keburukan itu tetap harus saya tangani hingga tirai loket dibuka dan prosesi jual-beli tiket resmi digelar.

Tapi naasnya, belum sampai jam tujuh, kondisi anteran telah sampai di titik kacau yang benar-benar meruncing. Orang-orang mulai saling dorong, saling mengimpit, saling mendesak, dan suara-suara gaduh membumbung seperti ocehan lebah. Saya pun jadi tambah tidak betah!

Pukul tujuh kurang lima, para petugas loket tampak berdatangan. Saya merasa ada kelegaan yang menelusupi perasaan saya. Tapi alih-alih langsung membuka tirai loket dan bersiap melayani para calon penumpang, petugas-petugas itu malah duduk rileks sambil mengobrol satu sama lain. Dengan asyiknya. Terkadang tertawa-tawa. Tak peduli para calon penumpang yang bersesak-sesakan di baris anteran, berdiri pegal, kembang-kempis, dan seperti ingin mati.

Mereka tidak peduli. Para petugas itu terus berkicau seolah berada di sebuah kafe yang memang diperuntukkan sebagai tempat bertukar cerita seru, untuk bersantai-santai ria. Oh God, saya menghela napas panjang. Apa lagi yang mereka tunggu? Apa para calon penumpang harus berjatuhan pingsan dulu, baru mereka tergugah untuk menggubris? Baiklah, mungkin ini berkaitan dengan peraturan, bahwa tirai baru akan atau boleh dibuka ketika pukul tujuh teng. Tapi hei... hallow... please look at us... kami yang berada di baris anteran sudah nyaris sekarat! Apa salahnya memajukan waktu pembukaan tirai loket lima menit, just five minute... demi kami, demi para calon penumpang yang tengah dililit kesengsaraan... sengsara!

Namun para petugas loket itu tetap bergeming, tak mau tahu, dan laksana menutup telinga sekalipun suara-suara ocehan dari para penumpang untuk mereka berterbangan, perintah ketus untuk segera membuka tirai keras tercetus, dan ada pula yang menghardik―tepatnya mengancam―akan memecahkan kaca loket saking jengkelnya. 

Pukul tujuh. Tapi perkara ketepatan waktu itu sepertinya cuma retorika. Omong kosong. Para petugas loket itu belum jua bergerak dari duduknya, dan masih meneruskan rumpian mereka yang sepertinya makin hot dan heboh. Jelas keresahan di baris anteran kian jadi kronis. Saya mendengus terang-terangan, dan sumpah, kala itu saya berjanji untuk ikutan berdemo kalau nanti para calon penumpang lain tak lagi bisa mengendalikan amarah mereka. 

Namun rupanya nasib para petugas loket itu masih terselamatkan. Mereka kemudian menyibak tirai dan mulai bergegas melayani para calon penumpang―yang sudah berkeringat basah kuyup, hampir kehabisan napas, dan ingin teriak saking depresi. Dan tak lama, saya pun mendapatkan tiket impian saya―yang saya perjuangan dengan pergulatan alot nan melelahkan.

Dengan lenggangan ringan, saya lantas beranjak menuju gerbong kereta, mengucap selamat tinggal dalam hati pada barisan antrian yang menjalar panjang hingga luar. Dan well, baru saja tiba di deretan kursi tunggu, saya mendengar pengumuman dari pengeras suara yang memberitahukan bahwa tiket kereta telah terjual habis, dan karena itu para calon penumpang yang tidak kebagian harus menunda kepergian hingga esok hari atau mencari alternatif transportasi lain.  

Saya menghela napas. Betapa cepatnya sang tiket―benda keramat itu―terjual tandas. Barangkali perusahaan perkeretaapian harus mencari solusi, menambah rangkaian gerbong kereta atau cara lainnya agar tidak terlalu banyak para calon penumpang ditimpa kemalangan. Datang di pagi buta, ikut mengantre dengan sabar dan penuh harap, tapi mereguk kesia-siaan. Kecewa. Terlunta.

Namun apa pun itu, di hari itu, saya tidak bisa untuk tidak melakukan itu: bersyukur. Saya boleh bersimpati atau bahkan berempati pada orang-orang di luar sana yang entah bagaimana nanti nasibnya, tapi bukankah yang terpenting adalah nasib diri saya sendiri? Saya punya tiket, saya selamat, saya bisa pulang, dan sudah selayaknya saya bersorak: horee!

Nah, demikianlah suka dan dukanya naik kereta api. Sungguh tidak singkat jika mau diceritakan secara lebih rinci. Dan barangkali jari-jari saya akan terbengkak mengetikkannya. Dan meski dalam postingan ini poin duka bahasannya lebih panjang ketimbang bahasan tentang sukanya, saya tetap suka naik kereta, tetap saya menyarankan bagi mereka yang belum pernah merasakan naik kereta untuk mencobanya :D


Note: Tulisan ini tak bermaksud menyinggung atau menjelek-jelekkan pihak mana pun, melainkan semata-mata untuk dipergunakan sebagai sarana berbagi informasi.




*Catatan 10 November 2011.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar