Saya VS Angka
Seminggu
penuh di awal bulan ini merupakan masa-masa yang bikin otak saya
berasap, bahkan melepuh. Betapa tidak? Untuk kali pertama dalam hidup,
saya harus bertempur keras dengan hal yang paling tidak saya sukai:
angka!
Barangkali jadi akuntan tidaklah terlalu sulit, apalagi jika telah tahu teknik me-manage pekerjaan tersebut. Tapi bagi saya yang pemula, dan lebih spesifik lagi "saya yang membenci angka"... jadi akuntan lebih seperti sebuah karma. Sungguh-sungguh karma.
Sedari kecil saya memang tidak pernah cocok dengan segala macam yang berbau hitung-hitungan. Saya termasuk salah satu manusia yang mengutuki pelajaran matematika, dan bahkan pernah tercetus oleh saya: untuk apa sih pelajaran matematika ada di dunia ini? Berangkat dari perkara itu, nilai matematika saya sudah pasti selalu jelek. Tidak pernah dapat delapan di rapor, dan bahkan pernah dua kali nilai matematika di rapor saya merah padahal saya juara kelas.
Ketika masuk sekolah kejuruan setingkat SMA pun saya tidak memilih jurusan akuntansi. Benar-benar saya malas terlilit dan terbelit oleh angka-angka yang menyulitkan. Saya ingin kehidupan sekolah saya santai, dan ketika masuk di bangku kuliah saya juga tetap mengambil jurusan yang aman-aman saja, yang artinya tidak berjumpa terlalu sering dengan mata kuliah hitung-menghitung, hingga... hari itu tiba.
Ya, hari itu, hari ketika saya memutuskan untuk menerima pekerjaan sebagai staf akuntan. Sejenak saya merenung, menganalisa apakah tindakan saya tepat atau tidak, dan apakah saya sedang khilaf, gila, atau... tapi ternyata tidak. Saya sadar akan apa yang telah saya tetapkan, saya melakukannya bukan semata karena emosi sesaat, dan saya masih waras. Satu yang kemudian jadi pertanyaan saya: bagaimana nanti kedepannya?
Dan muncullah fase-fase serba tak terduga itu. Mendadak dunia saya jungkir balik. Angka-angka seakan telah merombak habis kenyamanan saya, menyulap ritme hidup saya yang tadinya sederhana menjadi kompleks dan ribet, menghadiahi saya napas kembang-kempis, jantung yang tersesakkan, energi yang terkuraskan, mental yang diuji, kestresan tingkat tinggi, membuat saya bak dikejar-kejar anjing abnormal. Angka-angka jadi makanan saya sejak hari itu, jadi rutinitas pekerjaan yang mau tidak mau harus saya tangani. Saya seakan menceburkan jiwa dan raga ke lubang buaya. Bunuh diri. Tapi anehnya, saya tidak jua ingin mundur.
Memang, kepala saya kerap dirajam penat oleh angka-angka yang saya temui nyaris setiap hari, mata saya sering berkunang-kunang, dan pandangan saya berputar-putar. Tapi inilah takdir. Realitas. Barangkali saya mual, muak, dan mau muntah. Tapi sejak awal saya ditawari pekerjaan itu, satu yang terselip di pikiran saya: apa salahnya kalau saya mencoba dunia baru?
Ya. Dunia yang betul-betul tidak pernah saya impikan. Bukan bekerja sebagai staf administrasi biasa seperti yang saya idami, bukan pula sebagai pekerja yang berkecimpung di bidang kepenulisan. Semesta baru. Objek baru. Bahan mainan baru. Dan satu alasan saya ketika mantap untuk menerimanya: saya ingin mendapat pengalaman yang menakjubkan.
Dan sedikit-banyak saya telah merengkuhnya kini. Sekalipun di awan bulan depan saya kembali harus bergulat dengan laporan-laporan accounting yang menyiksa, kembali meronta setengah mati, kembali berdarah-darah. Saya tidak akan mundur. Karena apa? Karena saya tipe pejuang, bukan pecundang.
Saya VS angka. Lucu. Dan nampaknya itu istilah yang telah kadaluarsa. Sekarang saya seolah telah menyatu dengan angka, bersahabat, dan bahkan saling mengasihi. Saya cuma harus lebih gigih belajar, ulet, dan membiasakan diri. Tak ada hal yang tidak bisa ditaklukkan di bumi ini selama kita mau, meski pada mulanya kita memang tidaklah mampu.
Saya VS angka. Demi pertempuran itu saya merelakan diri saya tak ubahnya pekerja rodi, beraktivitas dari pagi hingga malam, diganggu oleh kalkulasi busuk di alam mimpi, dan mencecap sebentuk hayat yang laksana tak lagi wajar. Tidak apa. Sekarang memang saya tengah berevolusi, berkembang menjadi manusia baru yang sibuk mengunyah santapan asing dan siap-siap menelan sensasinya. Semoga sungguhan menakjubkan. Semoga segalanya menyertakan hikmah, walau mekanismenya tidak senantiasa indah.
Dan berkat kejadian ini, tiba-tiba batin saya terbetik oleh sesuatu. Barangkali selama ini saya tidak membenci angka, hanya menakutinya. Dan sudah hukum alam untuk kita bertabrakan dengan apa yang kita takutkan. Pasti. Dan ketika siapa pun tidak sanggup dan tidak mungkin menghindar lagi selayak saya, maka tak ada pilihan lain kecuali menghadapinya. Karena seperti kata pepatah, cuma itulah satu-satunya cara agar ketakutan tersebut terkalahkan... terhancurkan.
Percayalah.
Barangkali jadi akuntan tidaklah terlalu sulit, apalagi jika telah tahu teknik me-manage pekerjaan tersebut. Tapi bagi saya yang pemula, dan lebih spesifik lagi "saya yang membenci angka"... jadi akuntan lebih seperti sebuah karma. Sungguh-sungguh karma.
Sedari kecil saya memang tidak pernah cocok dengan segala macam yang berbau hitung-hitungan. Saya termasuk salah satu manusia yang mengutuki pelajaran matematika, dan bahkan pernah tercetus oleh saya: untuk apa sih pelajaran matematika ada di dunia ini? Berangkat dari perkara itu, nilai matematika saya sudah pasti selalu jelek. Tidak pernah dapat delapan di rapor, dan bahkan pernah dua kali nilai matematika di rapor saya merah padahal saya juara kelas.
Ketika masuk sekolah kejuruan setingkat SMA pun saya tidak memilih jurusan akuntansi. Benar-benar saya malas terlilit dan terbelit oleh angka-angka yang menyulitkan. Saya ingin kehidupan sekolah saya santai, dan ketika masuk di bangku kuliah saya juga tetap mengambil jurusan yang aman-aman saja, yang artinya tidak berjumpa terlalu sering dengan mata kuliah hitung-menghitung, hingga... hari itu tiba.
Ya, hari itu, hari ketika saya memutuskan untuk menerima pekerjaan sebagai staf akuntan. Sejenak saya merenung, menganalisa apakah tindakan saya tepat atau tidak, dan apakah saya sedang khilaf, gila, atau... tapi ternyata tidak. Saya sadar akan apa yang telah saya tetapkan, saya melakukannya bukan semata karena emosi sesaat, dan saya masih waras. Satu yang kemudian jadi pertanyaan saya: bagaimana nanti kedepannya?
Dan muncullah fase-fase serba tak terduga itu. Mendadak dunia saya jungkir balik. Angka-angka seakan telah merombak habis kenyamanan saya, menyulap ritme hidup saya yang tadinya sederhana menjadi kompleks dan ribet, menghadiahi saya napas kembang-kempis, jantung yang tersesakkan, energi yang terkuraskan, mental yang diuji, kestresan tingkat tinggi, membuat saya bak dikejar-kejar anjing abnormal. Angka-angka jadi makanan saya sejak hari itu, jadi rutinitas pekerjaan yang mau tidak mau harus saya tangani. Saya seakan menceburkan jiwa dan raga ke lubang buaya. Bunuh diri. Tapi anehnya, saya tidak jua ingin mundur.
Memang, kepala saya kerap dirajam penat oleh angka-angka yang saya temui nyaris setiap hari, mata saya sering berkunang-kunang, dan pandangan saya berputar-putar. Tapi inilah takdir. Realitas. Barangkali saya mual, muak, dan mau muntah. Tapi sejak awal saya ditawari pekerjaan itu, satu yang terselip di pikiran saya: apa salahnya kalau saya mencoba dunia baru?
Ya. Dunia yang betul-betul tidak pernah saya impikan. Bukan bekerja sebagai staf administrasi biasa seperti yang saya idami, bukan pula sebagai pekerja yang berkecimpung di bidang kepenulisan. Semesta baru. Objek baru. Bahan mainan baru. Dan satu alasan saya ketika mantap untuk menerimanya: saya ingin mendapat pengalaman yang menakjubkan.
Dan sedikit-banyak saya telah merengkuhnya kini. Sekalipun di awan bulan depan saya kembali harus bergulat dengan laporan-laporan accounting yang menyiksa, kembali meronta setengah mati, kembali berdarah-darah. Saya tidak akan mundur. Karena apa? Karena saya tipe pejuang, bukan pecundang.
Saya VS angka. Lucu. Dan nampaknya itu istilah yang telah kadaluarsa. Sekarang saya seolah telah menyatu dengan angka, bersahabat, dan bahkan saling mengasihi. Saya cuma harus lebih gigih belajar, ulet, dan membiasakan diri. Tak ada hal yang tidak bisa ditaklukkan di bumi ini selama kita mau, meski pada mulanya kita memang tidaklah mampu.
Saya VS angka. Demi pertempuran itu saya merelakan diri saya tak ubahnya pekerja rodi, beraktivitas dari pagi hingga malam, diganggu oleh kalkulasi busuk di alam mimpi, dan mencecap sebentuk hayat yang laksana tak lagi wajar. Tidak apa. Sekarang memang saya tengah berevolusi, berkembang menjadi manusia baru yang sibuk mengunyah santapan asing dan siap-siap menelan sensasinya. Semoga sungguhan menakjubkan. Semoga segalanya menyertakan hikmah, walau mekanismenya tidak senantiasa indah.
Dan berkat kejadian ini, tiba-tiba batin saya terbetik oleh sesuatu. Barangkali selama ini saya tidak membenci angka, hanya menakutinya. Dan sudah hukum alam untuk kita bertabrakan dengan apa yang kita takutkan. Pasti. Dan ketika siapa pun tidak sanggup dan tidak mungkin menghindar lagi selayak saya, maka tak ada pilihan lain kecuali menghadapinya. Karena seperti kata pepatah, cuma itulah satu-satunya cara agar ketakutan tersebut terkalahkan... terhancurkan.
Percayalah.
*Catatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar