Pages

Senin, 09 Juni 2014

Lelaki Renta, Gelondong Kayu, dan Sampan


Lelaki Renta, Gelondong Kayu, 
dan Sampan


Pada sebuah sinetron yang iseng saya saksikan setahun lalu, saya mendengar seonggok kisah yang dituturkan pemain utamanya. Katanya, di masa silam, ada seorang lelaki renta yang hanyut terbawa arus sungai. Berhari-hari lelaki itu terapung di perairan dengan nasib berada di antara hidup dan mati.


Suatu ketika segelondong kayu mendatangi tubuhnya yang lemas dan layu. Akal warasnya berbisik bahwa kayu itu dapat menyelamatkannya jika ia beringsut menaikinya. Namun hatinya membantah, menolak, menganggap kayu itu cuma benda tak berarti, benda rapuh yang bisa saja hancur di tengah jalan. Jelas itu bukan pertolongan. Dan ia berkeyakinan bahwa Tuhan niscaya akan menurunkan pertolongan yang sejati. Ia hanya harus berdoa, tanpa lelah.

Gelondong kayu itu pun berlalu begitu saja, dilewatkan dengan sengaja.

Selanjutnya datanglah sebuah sampan nelayan yang cuma mampu dimuati dua orang. Sang nelayan dengan sigap mengulurkan tangannya kepada si lelaki tak berdaya itu, hendak menaikkannya ke dalam sampan. Akal waras lelaki tersebut berbisik agar ia setuju, menerima, agar ia terentas dari jurang petaka yang menganga sedemikian lebar. Namun lagi-lagi, kali ini, hatinya membantah, menolak, menganggap sampan itu terlalu sempit juga ringsek dan bisa saja bocor lalu tenggelam di tengah jalan. Jelas itu bukan pertolongan. Dan kembali, ia berkeyakinan bahwa Tuhan niscaya akan menurunkan pertolongan yang sejati. Ia hanya harus berdoa, tanpa jengah.

Sampan mungil itu pun pergi, dan nelayan yang mengendarainya heran tak terperi.

Lantas sepi, hening. Lelaki renta tadi terus terambang dipermainkan gelombang sungai, tak lagi ada yang menghampirinya. Tetapi ia tak patah arang. Ekspektasinya terus membumbung dan merubung wajahnya yang kian pasi, bibirnya yang membiru, tenaganya yang nyaris tak bersisa. Lelaki itu masih terus percaya bahwa Tuhan akan mengirimkan pertolongan semacam perahu besar, atau penyu raksasa yang dapat menghantarkannya ke tepi sungai.

Namun tidak. Tak lagi ada yang muncul, sama sekali, meski lelaki itu setia menanti. Sungai tetap sepi, hening. Hanya deruan maut yang kemudian menggelegar di sana, kehadiran ajal yang mendamparkannya ke alam baru: kematian yang tak pernah ia mau.

Nyawa lelaki itu tercatut sia-sia, tanpa antisipasi, prediksi, dan ia tidak terima. Lantas dicuatkannya sejumlah ptotes kala ia sampai di hadapan Tuhan, tentang kenapa Tuhan tidak juga menolongnya padahal ia percaya, kenapa Tuhan tidak menolongnya padahal ia sangat berasa, dan kenapa Tuhan tidak menolongnya padahal ia tak putus berdoa.

Tuhan menjawab: aku telah mengalirkan berulang pertolongan, tapi engkau mengabaikannya.

Sontak lelaki itu tertegun. Kepalanya teringat akan gelondong kayu dan sampan mungil. Apakah pertolongan yang dimaksud adalah itu, ia bertanya.
 
Iya, Tuhan menjawab.

Dan tak pelak lelaki tersebut tertunduk, menyesal, mencap dirinya bodoh, bahkan mengutuki habis ketidakpekaannya. Harusnya ia tahu keyakinannya adalah idealisme yang malah bisa jadi belati. Harusnya ia tahu ekspektasinya terlampau tinggi dan sanggup menumbangkannya dengan keji. Harusnya ia tahu doa-doanya cuma akan jadi angin tipis tak bermakna karena sebetulnya Tuhan telah menyimak, bertindak, namun ia buta dan tidak peduli.

Harusnya ia tahu perahu besar tak akan pernah menyusuri sungai itu, dan penyu raksasa adalah hewan ajaib yang terjelma di ranah dongeng semata.

Harusnya ia masih hidup, andai ia mengambil kesempatan-kesempatan yang berdenyut, dan bukan menggantungkan segalanya pada agungnya harapan, kokohnya kepercayaan, serta saktinya doa-doa.

Harusnya ia tidak mati, andai ia mengerti.

**

Berkaca dari cerita di atas, beberapa bulan terakhir ini saya merenung. Secara penuh saya menyadari bahwa posisi saya sekarang persis sama dengan nelayan itu ketika terapung di bentang sungai. Entah akan bagaimana nanti, hidup atau mati.

Dan secara penuh pula saya menyadari bahwa telah beberapa kali Tuhan mencurahkan pertolongan demi pertolongan. Tak usah ditebak, karna lagi-lagi saya seperti nelayan itu, mengabaikan pertolongan yang menyapa.

Namun saya bukannya buta, apalagi tidak peduli. Saya hanya ingin mencari satu yang terbaik, satu yang paling indah, satu yang paling bermutu. Tapi dunia mempersepsikan lain, dan barangkali berserta isi-isinya. Saya dinilai terlalu pilih-pilih, menginginkan semuanya dengan sebegitu sempurna tanpa sudi menjajal apa yang tersuguh dan tersaji di depan mata.

Dulu saya menentang pendapat itu, namun tidak beberapa bulan terakhir ini, sejak saya merenung dan paham langsung: saya telah salah.

Ya, saya salah. Sebagaimana lelaki renta itu, sejauh ini pun saya bertahan karena harapan, kepercayaan, dan doa-doa. Saya terus menjejak berdiri tanpa lari karena mengandalkan hal-hal tersebut. Dan tanpa saya mengerti, sekelumit hal terluput dari perhatian saya: saya akan terus hidup, asal saya mau mencoba.

Oleh sebab itu saya bertekad mengubah paradigma saya. Berupaya menaiki gelondong kayu yang tersedia, atau menaiki sampan yang siap membawa. Karena cuma dengan begini saya tak akan mati. Karena percuma jika saya tetap menanti. Karena pertolongan megah itu tampaknya mustahil menjelma, karena saya melalaikan perolongan sederhana yang ada dan nyata. Karena saya salah. Karena mungkin Tuhan terlalu lelah.

Menolong saya.


*Catatan 02 Juli 2011.

1 komentar: