Lelaki Renta, Gelondong Kayu,
dan Sampan
Pada
sebuah sinetron yang iseng saya saksikan setahun lalu, saya mendengar
seonggok kisah yang dituturkan pemain utamanya. Katanya, di masa silam,
ada seorang lelaki renta yang hanyut terbawa arus sungai. Berhari-hari
lelaki itu terapung di perairan dengan nasib berada di antara hidup dan
mati.
Suatu ketika segelondong kayu mendatangi tubuhnya yang lemas dan layu. Akal warasnya berbisik bahwa kayu itu dapat menyelamatkannya jika ia beringsut menaikinya. Namun hatinya membantah, menolak, menganggap kayu itu cuma benda tak berarti, benda rapuh yang bisa saja hancur di tengah jalan. Jelas itu bukan pertolongan. Dan ia berkeyakinan bahwa Tuhan niscaya akan menurunkan pertolongan yang sejati. Ia hanya harus berdoa, tanpa lelah.
Gelondong kayu itu pun berlalu begitu saja, dilewatkan dengan sengaja.
Selanjutnya
datanglah sebuah sampan nelayan yang cuma mampu dimuati dua orang. Sang
nelayan dengan sigap mengulurkan tangannya kepada si lelaki tak berdaya
itu, hendak menaikkannya ke dalam sampan. Akal waras lelaki tersebut
berbisik agar ia setuju, menerima, agar ia terentas dari jurang petaka
yang menganga sedemikian lebar. Namun lagi-lagi, kali ini, hatinya
membantah, menolak, menganggap sampan itu terlalu sempit juga ringsek
dan bisa saja bocor lalu tenggelam di tengah jalan. Jelas itu bukan
pertolongan. Dan kembali, ia berkeyakinan bahwa Tuhan niscaya akan
menurunkan pertolongan yang sejati. Ia hanya harus berdoa, tanpa jengah.
Sampan mungil itu pun pergi, dan nelayan yang mengendarainya heran tak terperi.
Lantas
sepi, hening. Lelaki renta tadi terus terambang dipermainkan gelombang
sungai, tak lagi ada yang menghampirinya. Tetapi ia tak patah arang.
Ekspektasinya terus membumbung dan merubung wajahnya yang kian pasi,
bibirnya yang membiru, tenaganya yang nyaris tak bersisa. Lelaki itu
masih terus percaya bahwa Tuhan akan mengirimkan pertolongan semacam
perahu besar, atau penyu raksasa yang dapat menghantarkannya ke tepi
sungai.
Namun
tidak. Tak lagi ada yang muncul, sama sekali, meski lelaki itu setia
menanti. Sungai tetap sepi, hening. Hanya deruan maut yang kemudian
menggelegar di sana, kehadiran ajal yang mendamparkannya ke alam baru:
kematian yang tak pernah ia mau.
Nyawa
lelaki itu tercatut sia-sia, tanpa antisipasi, prediksi, dan ia tidak
terima. Lantas dicuatkannya sejumlah ptotes kala ia sampai di hadapan
Tuhan, tentang kenapa Tuhan tidak juga menolongnya padahal ia percaya,
kenapa Tuhan tidak menolongnya padahal ia sangat berasa, dan kenapa
Tuhan tidak menolongnya padahal ia tak putus berdoa.
Tuhan menjawab: aku telah mengalirkan berulang pertolongan, tapi engkau mengabaikannya.
Sontak
lelaki itu tertegun. Kepalanya teringat akan gelondong kayu dan sampan
mungil. Apakah pertolongan yang dimaksud adalah itu, ia bertanya.
Iya, Tuhan menjawab.
Dan
tak pelak lelaki tersebut tertunduk, menyesal, mencap dirinya bodoh,
bahkan mengutuki habis ketidakpekaannya. Harusnya ia tahu keyakinannya
adalah idealisme yang malah bisa jadi belati. Harusnya ia tahu
ekspektasinya terlampau tinggi dan sanggup menumbangkannya dengan keji.
Harusnya ia tahu doa-doanya cuma akan jadi angin tipis tak bermakna
karena sebetulnya Tuhan telah menyimak, bertindak, namun ia buta dan
tidak peduli.
Harusnya
ia tahu perahu besar tak akan pernah menyusuri sungai itu, dan penyu
raksasa adalah hewan ajaib yang terjelma di ranah dongeng semata.
Harusnya
ia masih hidup, andai ia mengambil kesempatan-kesempatan yang
berdenyut, dan bukan menggantungkan segalanya pada agungnya harapan,
kokohnya kepercayaan, serta saktinya doa-doa.
Harusnya ia tidak mati, andai ia mengerti.
**
Berkaca
dari cerita di atas, beberapa bulan terakhir ini saya merenung. Secara
penuh saya menyadari bahwa posisi saya sekarang persis sama dengan
nelayan itu ketika terapung di bentang sungai. Entah akan bagaimana
nanti, hidup atau mati.
Dan
secara penuh pula saya menyadari bahwa telah beberapa kali Tuhan
mencurahkan pertolongan demi pertolongan. Tak usah ditebak, karna
lagi-lagi saya seperti nelayan itu, mengabaikan pertolongan yang
menyapa.
Namun
saya bukannya buta, apalagi tidak peduli. Saya hanya ingin mencari satu
yang terbaik, satu yang paling indah, satu yang paling bermutu. Tapi
dunia mempersepsikan lain, dan barangkali berserta isi-isinya. Saya
dinilai terlalu pilih-pilih, menginginkan semuanya dengan sebegitu
sempurna tanpa sudi menjajal apa yang tersuguh dan tersaji di depan
mata.
Dulu
saya menentang pendapat itu, namun tidak beberapa bulan terakhir ini,
sejak saya merenung dan paham langsung: saya telah salah.
Ya,
saya salah. Sebagaimana lelaki renta itu, sejauh ini pun saya bertahan
karena harapan, kepercayaan, dan doa-doa. Saya terus menjejak berdiri
tanpa lari karena mengandalkan hal-hal tersebut. Dan tanpa saya
mengerti, sekelumit hal terluput dari perhatian saya: saya akan terus
hidup, asal saya mau mencoba.
Oleh
sebab itu saya bertekad mengubah paradigma saya. Berupaya menaiki
gelondong kayu yang tersedia, atau menaiki sampan yang siap membawa.
Karena cuma dengan begini saya tak akan mati. Karena percuma jika saya
tetap menanti. Karena pertolongan megah itu tampaknya mustahil menjelma,
karena saya melalaikan perolongan sederhana yang ada dan nyata. Karena
saya salah. Karena mungkin Tuhan terlalu lelah.
Menolong saya.
*Catatan
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus