Kereta... Oh Kereta...
Baiklah... hmf, setelah berbulan-bulan tidak melakukan update, setelah bersibuk-sibuk mengganti template
dan tak menemukan yang sesuai dengan hati, setelah kerepotan mengganti
alamat "rumah" plus mengganti judul tampilan dan kemudian mentok...
inilah postingan perdana saya, sebagai sekuel dari postingan-postingan
sebelumnya, yang barangkali tak ada yang terlalu penting.
Oke,
dalam kesempatan kali ini saya akan membahas tentang hal-hal yang
berkaitan dengan alat transportasi favorit saya: kereta api.
Entah
sejak kapan saya menggemari angkutan umum yang satu itu. Mungkin
resminya sejak kali pertama saya masuk kuliah di Palembang dan sering
menclok di atasnya. Yang jelas, ada daya magis yang membuat saya
tersihir oleh rangkaian gerbong panjang mirip ular tersebut.
Liukan-liukannya ketika melaju, decitan-decitan rodanya yang mencengkram
kokoh hamparan rel, bahkan suasana di petak kendaraannya, menyembulkan
semacam kekhasan yang mustahil saya jumpai pada alat transportasi
komersial lainnya. Dan kekhasan itulah yang kemudian seperti menyeret
saya dalam nuansa jatuh hati. Banyak sekali cerita yang saya dapatkan
selama saya menjadi penumpang setia kereta api. Sedih, senang, lucu, dan
juga sebal-sebalan. Amat beragam, dan berkombinasi jadi sensasi yang
unik. Bahkan karena itu, otak saya tersambar inspirasi gemilang untuk
suatu hari menuliskan kisah berunsur kereta api ke dalam sebentuk novel.
Tapi itu baru angan-angan, sekalipun sudah dari jauh-jauh hari saya
mendapatkan judulnya :p
Okay, back to main topic.
Barangkali sekali lintas tidak ada yang istimewa dari kendaraan umum
bernama kereta api. Dahulu pun saya berpendapat begitu. Tapi tidak
setelah saya beroleh rupa-rupa makna dari ratusan perjalanan yang saya
alami dengan menggunakan jasa transportasi tersebut. Saat masih zaman
kuliah, paling tidak saya naik kereta dua kali dalam seminggu. Kalaupun
ada yang dua kali dalam dua minggu atau dalam tiga minggu, itu terbilang
jarang, karena semasa kuliah saya rutin mudik tiap minggu. Wait... mudik? Oke, kalau sudah tiap minggu mungkin sebutannya bukan mudik lagi, tapi "kesono-kemari" alias "wara-wiri" :)
Tapi
begitulah. Tempat kuliah yang berada di kota besar dan rumah saya yang
terletak di desa kecil, membuat saya terhubung terus-menerus dengan
kereta api, bagai sapasang sahabat yang lengket dan tak mau lagi
dipisahkan. Jika ditanya apakah tidak ada alternatif kendaraan lain
untuk bepergian, jawabannya tentu "ada". Palembang―tempat kuliah saya―yang
posisinya nun jauh di sana dari desa saya, bisa saja dijangkau dengan
motor (kalau stamina mumpuni), atau dengan jasa travel. Tapi sebagaimana
itu, tentu saya memilih kereta api sebagai pilihan karena saya punya
alasan. Pertama, saya mustahil pakai motor lantaran saya tidak bisa
mengendarai motor. Oke, ini aib dan silahkan tertawa sekeras tawa setan,
tapi entah iya atau tidak, terus terang saya agak fobia menyetir motor.
Dan kedua, saya terlampau enggan kalau harus pakai travel. Tahu kenapa?
Karena "jelas" ongkosnya lebih mahal!
Tapi
tunggu dulu, sebab itu bukanlah alasan inti. Di samping masalah
keefesienan, bagi saya masalah keefektifan lebih penting untuk
diperhitungkan. Naik travel, artinya mesti melancong ke loket yang
bernaung di kota kecil dengan jarak cukup panjang dari desa saya.
Dibutuhkan waktu kurang-lebih satu setengah jam untuk bisa sampai ke
sana, waktu yang sungguh tidak sedikit.
Sementara kalau naik kereta? Saya hanya perlu waktu sepuluh menit untuk
mencapai stasiun, karena desa kecil saya memang memiliki stasiun kereta
api, dan titik lebihnya... dekat dari rumah!
Terang
sudah. Konsep ekonomis dan praktis. Demikianlah yang memicu saya untuk
memanfaatkan jasa kereta api tiap ingin ke luar kandang. Dua alasan yang
berfusi dan menggenapi, begitu kuat dan masuk akal. Dan saya percaya,
bahwa tidak saja saya yang mempunyai pola pikir seperti itu, tapi juga
orang-orang lain. Oke, mungkin sebagian orang tidak sepakat, terutama
bagi mereka-mereka yang tidak terlalu menyukai kereta api, atau bahkan
mengantipati. Itu wajar, karena tiap orang berdiri di garisnya
masing-masing. Dan sepertinya itu hanya soal selera. Tapi bagi saya yang
berlogika peka (ini kata-kata sombong, jangan dicontoh), tentu saya
berani bilang begini: kenapa harus repot kalau ada jalur yang lebih
enak?
Terlepas dari semua itu, naik kereta sangat diwarnai suka dan duka. Well, saya akan mulai dengan sukanya.
Tidak
bisa dielak lagi, saya adalah seorang pengkhayal kronis. Di mana pun
saya bertengger, jika itu memungkinkan, kepala saya akan mulai aktif
merangkai imaji-imaji tanpa batas, terkadang liar, dan segalanya
bergulir tanpa saya sanggup mencegahnya. Merujuk dari realita tersebut,
sepanjang pengetahuan saya, kereta merupakan salah satu tempat ternyaman
saya untuk berkhayal, selain kamar dan kamar mandi. Di atas kereta yang
tengah berjalan perlahan, apalagi saat saya duduk tepat di pinggir
jendela, seliweran imaji pasti akan langsung menjejali otak saya. Tidak
jarang saya mendapat ide-ide antik nan segar untuk tulisan saya, berkat
proses berkhayal alami itu. Dan sudah barang tentu saya diuntungkan.
Tak
hanya itu, zona suka lainnya pun ternyata masih ada, yakni terpenuhinya
kebutuhan jiwa petualang saya. Benar. Pada dasarnya saya hobi
berpetualang. Dan walau tidak pernah melakukan petualangan yang
sesungguhnya, melalui perjalanan saya selama di dalam kereta, saya
seolah telah melangsungkan suatu petualangan. Banyak yang terjadi pada
petualangan saya itu, kesemuanya dijahit dan dibebat oleh semacam kesan
yang tidak gampang dilupakan. Hingga kini kesan-kesan itu belum jua
sirna dan masih menempel di dalam ingatan saya. Dan salah satu yang
paling kental, adalah ketika gerbong kereta mati lampu dan sisa
perjalanan saya ke Palembang harus dihabiskan dengan keadaan
gelap-gelapan. Malam, gulita, tak bisa bergerak dan melihat dengan
leluasa. Barangkali orang-orang kala itu berkeluh kesah, tapi tidak
dengan saya. Duduk di tepi jendela dan merenung, saya malah
tersenyum-senyum senang. Tatapan saya terlontar ke luar kaca jendela,
dan saya ditakjubkan oleh kerlip-kerlip bintang di langit dan sinar
bulan yang menimpa bumi, bahkan seperti turut menimpa wajah saya.
Benar-benar eksotis. Mempesona. Dalam kondisi gerbong terang mungkin
pemandangan itu akan nampak biasa-biasa saja, tapi ketika gerbong
diselimuti kepekatan, mendadak pemandangan itu jadi dominan dan mencolok
elok. Terlihat begitu jelas. Saya seperti menyatu dengan langit yang
membentang luas, dan saat kereta melewati deretan rerimbaan, saya merasa
seakan sedang dibawa menembusi hutan Amazon yang misterius tapi cantik.
Terdengar konyol? Mungkin. Tapi bagi saya, itu adalah pengalaman yang
istimewa.
Poin
suka seterusnya adalah bertambahnya teman baru. Tidak satu-dua kali
saya mendapat teman baru ketika naik kereta. Entah itu cewek, cowok,
sebaya dengan saya ataupun lebih tua dari saya, mbak-mbak, mas-mas, atau
bahkan ibu-ibu dan bapak-bapak. Dan orang-orang itu berasal dari
berbagai latar belakang kehidupan, status, juga profesi. Hanya
segelintir saja yang kemudian bertahan menjadi teman saya, karena
perpisahan mutlak terjadi setelah hari perkenalan itu. Tapi sekalipun
mereka hilang dari peredaran hidup saya, paling tidak mereka tercemplung
dalam daftar orang-orang yang sudi berkenalan dan mau menjadi teman
saya. Untuk catatan, saya tergolong manusia yang lumayan sukar bergaul.
Maka kalau sampai saya bisa berkenalan dan menjalin pertemanan―sekalipun
temporer―dalam sekali jumpa dengan orang lain, berarti saya hebat dan
layak dihujani sorakan tepuk tangan :D
Nah,
kini tibalah saya beranjak ke sisi duka. Phuh. Kata orang, naik kereta
api lebih banyak dukanya daripada sukanya. Dan menurut saya? Hm... tidak
juga. Mungkin karena saya penggemar berat yang cukup susah untuk
berkhianat (tersenyum bangga dan memamerkan gigi).
Baiklah,
di antara duka naik kereta api yang pasti diasumsikan seabrek-abrek, di
sini saya akan mengulas garis besarnya saja. Pertama, duka naik kereta
api adalah manakala sang "primadona" itu tak muncul-muncul di stasiun,
padahal sudah ditunggu sekian jam dari siang hingga sore, bahkan
terkadang malam. Para penanti kereta layaknya saya memang dituntut punya
kesabaran ekstra. Apalagi kedatangan kereta kerap tidak menentu. Kadang
normal, kadang cepat, tapi kadang ngaret minta ampun. Semua tergantung
pada kelancaran perjalanan kereta itu sendiri.
Duka
lainnya yakni ketika kereta sedang penuh sesak. Jangankan untuk duduk
dan berkhayal-khayal ria, untuk berdiri dan bernapas tentram pun sulit
bukan kepalang. Tapi masa-masa seperti ini tidak terjadi terus-menerus,
hanya pada saat hari-hari khusus yang membuat arus pulang dan arus balik
dibeludaki penumpang. Dan ketika tiba momen-momen penurunan jumlah
penumpang, otomatis gerbong kereta melengang dan longgar. Tidak hanya
duduk, bahkan orang-orang bisa tidur terlentang di atas jok.
Bertemu
dengan manusia-manusia yang pelit berbagi tempat duduk. Inilah duka
yang paling menyesakkan. Pernah sahabat saya mengomel panjang-pendek
ketika berhadapan dengan manusia-manusia jenis tersebut. Waktu itu
sedang musim liburan sekolah dan kuantitas penumpang melonjak drastis.
Kami harus pintar dan sigap mencari bangku kalau tidak mau berdiri
terlunta di lorong gerbong atau bahkan di depan pintu WC. Dan apesnya,
waktu itu kami dipeliti oleh penumpang yang padahal bangkunya masih muat
diduduki dua orang lagi. Dia tidak mengizinkan kami duduk dengan alasan
bahwa bangku itu telah penuh dan si penunggunya sedang ke kamar mandi.
Tapi setelah saya dan sahabat saya berdiri terhuyung-huyung di lorong
gerbong, ternyata bangku itu tetap kosong bahkan setelah nyaris satu
jam. Please think. Mana ada orang pergi ke kamar mandi sampai sebegitu lama, kecuali di kamar mandi dia tiba-tiba melahirkan atau at least,
ketiduran. Dan sahabat saya yang memperhatikan itu, tak dapat lagi
membendung unek-uneknya. Beruntung dia cuma melontarkannya dengan
menggumam. Kalau dia mencetuskannya di depan "si pelit" tadi, saya yakin
akan meletus sebuah pertumpahan darah (oke, ini berlebihan). Begitulah.
Di dalam kereta memang banyak sekali bergentayangan manusia-manusia
egois yang tidak punya perasaan, tidak tahu diri. Mereka tidak secuil
pun menghiraukan nasib orang lain. Terserah orang lain mati gempor
lantaran berdiri, yang penting mereka bisa tidur selonjoran dengan
sejahtera. Sungguh kejahatan sosial yang terkutuk!
Tapi
saya bersyukur, karena saya lebih kerap bertemu dengan orang-orang yang
baik hatinya, mau membagi kursinya dengan bahasa wajah dan bahasa tubuh
yang ramah dan ikhlas. Bahkan terkadang, mereka rela bersempit-sempit
demi menyelusupkan saya di bangku mereka yang sebetulnya sudah tidak
punya lagi space. How lucky I am. Apakah ini karena saya juga kerap melakukan hal yang serupa? No,
sepertinya tidak. Ini pasti karena aura paras saya yang memancarkan
daya pikat nan putih, yang membuat siapa pun luluh hatinya dan mau tak
mau menjadi welas asih (ngelantur...).
Duka berikutnya adalah para pengamen yang datang-pergi silih berganti. Oh God. Entah ada berapa pengamen yang menebar "perform"
di sepanjang perjalanan. Ada yang suaranya cukup oke dan layak diberi
receh (atau uang kertas, atau bahkan cek). Ada yang suaranya bikin
orang-orang memekik dalam batin: stop it, suara lo kayak mau
ngebunuh gue! Dan ada lagi yang suara ancur, tampang ancur (maaf), tapi
raut mukanya mengguratkan kemelasan tingkat dewa. Model beginilah yang
membuat orang-orang dirembesi rasa iba dan tergugah untuk merogoh kocek
mereka demi bersedekah. Namun di antara tipe-tipe pengamen di atas, ada
yang paling saya―dan pastinya semua orang selain saya―benci. Siapakah
dia? Pengamen yang tak beretika! Ya. Pengamen yang akan mengumpat
frontal jika tidak "dibayar", terkadang agak memaksa, bahkan pernah
mereka membangunkan saya yang tengah tertidur dengan
menggoyang-goyangkan wadah uang mereka―bungkus permen dengan gerombolan
uang logam sebagai kencringan bunyi―di depan wajah saya. Meski kemudian
saya terusik, tentu saya yang seorang preman kereta cuek-cuek saja.
Tetap pura-pura tidur dengan tetap menutup mata, dan membiarkan pengamen
sialan itu minggat dari hadapan saya. Betul-betul saya heran dengan
pengamen yang demikian. Haruskah saya memberi mereka uang, sementara
saya tidur dan tidak mendengar mereka bernyanyi? Haruskah mereka
sebegitu "santun", sampai-sampai membangunkan saya dengan cara sebrilian
itu? Dalam benak, saya bertanya-tanya ketus: sebenernya elo ngamen apa
nodong?
Duka selanjutnya yakni keriuhan suasana di gerbong kereta dan bebauan
tak sedap yang mengepung dari segala arah. Sahabat saya salah satu orang
yang paling mempersoalkan dan terganggu dengan perkara yang satu ini.
Ada kalanya titik-titik di radius bangku yang kami duduki aman dari
terpaan bebauan, meski keberisikan tetap menerjangi gendang telinga
(hei, namanya juga sarana transportasi umum, kalau mau hening dan tenang
kenapa tidak bertapa saja di kuburan Cina?). Tapi ada kalanya kami
apes. Duduk di dekat WC yang aromanya memabukkan, ditambah bau pempek
pedagang asongan yang menurut sahabat saya menyengat dan bikin mual,
ditambah bau keringat dari orang-orang di samping dan depan kami, dan
harus pula ditambah dengan asap rokok yang beterbangan gemulai, menerpa
hidung, meracuni paru-paru. Sungguh paket yang luar biasa lengkap. Dan
tinggallah kami megap-megap, duduk gelisah sambil berkipas-kipas,
membisikkan gerutu pada satu sama lain.
Duka
yang terakhir adalah kegiatan mengantre tiket di stasiun. Ketika hendak
ke Palembang dari desa saya, memang saya tidak perlu berpayah-payah
melakukan itu, dengan ganjaran tidak bisa memiliki tiket. Tapi ketika
dari Palembang dan saya hendak pulang ke desa saya? Harus!
Sebenarnya
mengantre tiket tidak memulu menjengkelkan. Tergantung situasi. Jika
penumpang sedang sepi, kegiatan mengantre tiket akan menjadi ritual yang
serupa dengan rutinitas konvensional lainnya, bahkan kadang
menyenangkan dan saya bisa mengantre sembari berkhayal ringan. Tapi
kalau penumpang sedang ramai, maka mengantre tiket akan terasa begitu
menyiksa. Penderitaan keji!
Menyinggung
masalah antre tiket dan penderitaan, baru-baru ini pun saya
mengalaminya. Tepatnya dua hari sebelum lebaran Idul Adha, saya pergi ke
stasiun Kertapati untuk pulang ke desa saya. Malam hari sebelum hari
itu, Ayah saya menelepon dan menyuruh saya untuk datang lebih awal ke
stasiun, karena katanya penumpang sedang membanjir. Tapi saya acuh tak
acuh dan datang sebagaimana waktu-waktu biasanya, setengah tujuh pagi
dari rumah. Hasilnya? Orang tua tak pernah salah!
Saya
pikir hari raya Idul Adha tidak terlalu berpengaruh terhadap jumlah
penumpang kereta api, karena mungkin, banyak orang yang tak memutuskan
pulang ke kampung halaman. Toh Idul Adha tidak seheboh perayaan Idul
Fitri, dan libur untuk hari besar itu pun sangat singkat. Tapi nyatanya,
fakta bicara lain. Terlalu banyak orang yang punya kampung halaman dan
ingin menghabiskan hari raya kurban bersama keluarga di rumah asal
mereka. Tak peduli seberapa singkat libur dari lebaran itu. Dan yang
menciptakan kepelikan, orang-orang tersebut meminati kendaraan yang
sama: kereta api. Walhasil, ketika pukul tujuh kurang saya menginjakkan
kaki di stasiun Kertapati, para pengantre tiket telah memanjang dan
luber hingga menyentuh pelataran parkir. Saya menelan ludah melihatnya,
dan tiba-tiba takut tidak kebagian tiket.
Tegang
dan resah, saya nekat untuk berdiri di ujung antrean. Orang-orang yang
datang setelah saya langsung menghambur untuk mengantre di belakang
saya, rapat dan berdesakan. Badan saya yang kecil, tak pelak jadi korban
sebelum hari raya kurban. Saya terimpit dan terjepit oleh badan-badan
besar orang yang berdiri di depan dan di belakang saya. Tapi saya tetap
bertahan. Tepat pukul tujuh, loket dibuka. Berangsur-angsur orang yang
mengantre di depan saya menyusut, berlalu dengan membawa tiket yang
telah mereka dapatkan dari petugas loket. Saya was-was karena antrean
masih amat panjang. Dan ketika saya yang tadinya baris di luar berhasil
merangsek ke pintu masuk stasiun, ketika orang-orang yang mengantre di
depan saya tinggal kira-kira dua puluh orang... tiket habis!
What? How pity I am...
Nyaris
saya menjerit frustasi, dan nyaris saya menyambangi petugas loket demi
merengek-rengek padanya untuk disediakan satu tiket bagaimana pun
caranya, selayak anak kecil merengek minta dibelikan balon. Tapi
untunglah saya masih waras dan masih bisa mengontrol diri. Seraya
berjalan lemas tanpa gerundel, saya berusaha menerima suratan nasib.
Keluar dari stasiun bersama jubelan orang-orang yang menerbangkan jutaan
dumel. Tapi lucunya, masih juga ada orang-orang yang tidak bergeser
dari baris antrean, sekalipun tirai loket telah ditutup telak dan
pengumuman tiket habis telah berkumandang berkali-kali dari pusat
informasi.
Actually,
fenomena kehabisan tiket tak akan terlalu menyakitkan, andai peraturan
PT KAI masih sama seperti dulu. Sekadar info, terhitung sejak bulan
Oktober (kalau tidak salah), PT KAI memberlakukan peraturan baru
mengenai sistem angkut (atau sistem apalah saya kurang mengerti bahasa
pastinya). Sistem baru itu yakni hanya menjual seratus persen tiket yang
mencantumkan nomor tempat duduk, yang artinya, PT KAI tidak lagi
menjual tiket berdiri. Dulu, segila-gilanya ledakan calon penumpang yang
memadati stasiun, orang-orang tak dibuat begitu khawatir lantaran masih
ada tiket berdiri sebagai penolong. Jadi kalaupun tidak kebagian tiket
duduk, asal punya tiket berdiri, jiwa-raga tetap bisa terangkut oleh
kereta dan terhantar sampai tujuan. Lagipula, di kondisi genting dan
mendesak, orang-orang tak mungkin lagi memikirkan bisa duduk atau tidak.
Yang terpenting bisa naik ke dalam gerbong dan bisa tiba di rumah
dengan selamat. Itu saja. Titik!
Namun
kini, semua telah berubah. Tanpa memiliki tiket duduk, orang-orang tak
diperbolehkan menaiki kereta. Bahkan demi memperkuat peraturan itu,
gerbang peron dijaga ketat oleh petugas PT KAI dan aparat. Mereka
melakukan pemeriksaan tiket pada penumpang yang hendak melintasi peron,
satu per satu, dan pemeriksaan itu berlangsung dengan ketat nan awas.
Yang lebih hebatnya lagi, sekarang istilah "pengantar" penumpang tidak
lagi berlaku. Para pengantar yang menemani sanak saudara, sahabat,
teman, pacar atau siapa pun, tidak diperkenankan memasuki kawasan inti
stasiun. Cukup mengantar sampai di depan peron, mentok sampai di situ,
karena yang diizinkan melewati pintu peron hanya orang-orang yang
mempunyai lembaran tiket. Entah apa sebabnya, saya tidak terlalu tahu.
Barangkali hal itu digalakkan untuk menyiasati manusia-manusia nakal
yang berlagak jadi pengantar, tapi tahu-tahu menyusup sebagai penumpang
gelap tanpa tiket.
Jelas
peraturan baru ini direspons oleh pro dan kontra yang tidak sepele.
Lebih-lebih mengenai poin pertama. Alangkah tragisnya orang-orang yang
tidak kebagian tiket, sementara mereka telah mengantre terpegal-pegal,
tersengal-sengal, terkesal-kesal. Tak ditampik, peraturan baru itu
diadakan demi meningkatkan kenyamanan para penumpang. Supaya gerbong
tidak padat sesak, tak ada penumpang yang berdiri seperti anak tiri, dan
barangkali juga untuk menimalisir kejahatan di atas kereta. Tapi apa
pun itu, saya tetap miris, karena peraturan baru yang terjelma seakan
membuat shock saking tidak biasanya. Bagaimana tidak? Orang-orang
yang dapat tiket dan boleh naik ke gerbong memang akan disuguhi
kenyamanan, bisa tersenyum bahkan tertawa. Tapi bagaimana dengan
orang-orang yang tidak dapat tiket dan tidak terangkut? Mereka gigit
jari, seakan dihujani kalimat "good bye, ke laut aja lo",
dan sudah tentu gondok tak terukur. Menurut saya, tercipta sebuah
ketimpangan yang memprihatinkan di sini. Terlebih tidak terjalinnya
keseimbangan antara stok tiket yang disediakan dengan kapasitas calon
penumpang yang meluap bagai lautan manusia. Terlabih, saya pernah
mengalaminya sendiri.
Now, let's back to my story.
Setelah pasrah dan melapangkan dada seluas lapangan bola, saya yang
tidak bisa pulang karena perkara tiket, memutuskan untuk menunda
keberangkatan. Salah sendiri datang siang, demikian hati saya mencemooh.
Maka saya pun bertekad untuk esok harinya bangun jam empat pagi, bahkan
jika perlu jam tiga pagi. Dan itu sungguh-sungguh kejadian. Hari
berikutnya saya bangun pagi sekali, rekor terbaru saya semasa hidup. Dan
tepat pukul setengah lima subuh, saya telah siap dan keluar dari rumah.
Awalnya saya agak linglung. Saya mau naik apa? Mana ada angkot dan bus
pada jam seperti itu. Bahkan mungkin ayam pun belum berkokok.
Untungnya
tepat ketika saya sampai di jalanan depan untuk mencari kendaraan,
seorang lelaki paruh baya menghampiri saya dengan motornya. Rupanya ia
seorang tukang ojek (salut sekali, karena dalam waktu sepagi itu ia
telah stand by cari rezeki). Melihat saya dengan tas ransel
tergandul besar di bahu, serta merta ia menawari saya untuk menggunakan
jasanya. Langsung tanpa menakar dan menimbang, saya terima tawaran itu.
Setelah saya menyebut bahwa saya hendak ke stasiun, saya bertanya berapa
kira-kira ongkos yang harus saya berikan. Karena kala itu masih sangat
pagi, tukang ojek itu mematok harga sebesar Rp 15.000 (eh, atau sepuluh
ribu ya?). Entahlah, saya sudah lupa, dan tampaknya amnesia yang mendera
saya mulai wajib ditanggulangi :D
Akhirnya
saya melancong bersama tukang ojek itu, menyusuri jalanan sepi yang
masih dirambati kegelapan. Saya lumayan kedinginan, tapi saya tidak
peduli. Satu yang saya inginkan: dapat tiket dan bisa pulang. Saya bisa
mati penasaran kalau sampai hari itu pun saya kembali gagal untuk
pulang.
Tiba
di stasiun, suasana masih belum ramai. Tapi kendati demikian, kendati
pintu stasiun pun masih dikunci, beberapa gelintir calon penumpang telah
terlihat di sana-sini, menanti dengan tabah sembari duduk-duduk di
teras atau berdiri gelisah. Saya merasa aman. Mustahil saya tidak
kebagian tiket, begitu pikiran saya.
Sekitar
lima belas menit menunggu, pintu stasiun dibuka. Orang-orang yang sudah
tidak sabar untuk masuk langsung menghambur menerobos ambangnya, bahkan
setengah berlari, membuat saya yang tersenggol nyaris terpental.
Diam-diam saya menghela napas. Bahkan di kondisi pagi yang notabene
masih sepi, atmosfer kompetisi sudah mulai menyala dan mengental. How great...
Tak
lama setelah saya menggapai posisi antre, para calo terlihat ikut
mengantre, bahkan salah satu diantara mereka telah berdiri di posisi
paling depan. Dalam batin, saya tergeleng-geleng, terkesima atas
kegesitan mereka. Oke, itu tidak masalah. Tapi kemudian terjadi seuntai
masalah. Para calo itu menegur para calon penumpang di baris anteran,
nyaris satu per satu, dan tebak mereka begitu untuk tujuan apa? Untuk
meminta tolong dibelikan tiket. Menitip!
What? Alangkah canggihnya mereka.
Oke,
mereka begitu demi cari makan. Tapi tahukah mereka bahwa kelakuan
mereka yang satu itu amat tidak terpuji? Saya bisa memaklumi profesi
mereka, termasuk alasan-alasan mereka menjadi calo. Tapi menitip tiket
pada calon penumpang, kemudian menjualnya pada calon penumpang lain yang
tidak kebagian tiket dan tentunya dengan harga yang berkali-kali
lipat... sungguh sebuah hal yang lucu. Kejahatan yang rangkap-rangkap.
Ajang eksploitasi!
Lalu
tibalah giliran saya. Dengan ramah dan lembut salah satu dari calo-calo
itu menegur saya, bertanya basa-basi ke mana saya akan pergi, dan
ujung-ujungnya meminta tolong untuk dibelikan tiket, dengan wajah
menyeruakkan permohonan tinggi. Tapi tunggu dulu. Saya tidak akan
sebodoh itu untuk langsung setuju dan berkata: iya. Pertama, saya bukan
tergolong orang yang baru naik kereta dua-tiga kali dan tidak tahu bahwa
mereka adalah "calo". Kedua, saya adalah "preman" kereta, jadi mana ada
preman yang mau dirinya dimanfaatkan.
Dengan
santai, saya berkata pada calo itu bahwa saya akan pulang dengan
teman-teman saya, dan saya harus membeli tiket lebih dari dua, dan
jumlah tersebut merupakan jumlah maksimal tiket yang bisa dibeli.
Sebagai info tambahan, sejak dahulu kala memang terdapat peraturan
mengenai batasan maksimal tiket yang bisa dibeli oleh calon penumpang,
dan petugas loket tidak akan melayani penjualan tiket yang melebihi
batasan yang telah ditetapkan.
Akhirnya, si calo menyerah, dengan wajah cukup kecewa ia berpaling pada calon penumpang lain dan melanjutkan aksinya.
Namun
demikian, bukan berarti masalah selesai sampai di situ. Jarum jam yang
terus bergulir membuat baris antrean kian memanjang dan berdempetan
parah. Saya mulai sesak napas, panas, dan mulai tidak betah. Dan
keburukan itu tetap harus saya tangani hingga tirai loket dibuka dan
prosesi jual-beli tiket resmi digelar.
Tapi
naasnya, belum sampai jam tujuh, kondisi anteran telah sampai di titik
kacau yang benar-benar meruncing. Orang-orang mulai saling dorong,
saling mengimpit, saling mendesak, dan suara-suara gaduh membumbung
seperti ocehan lebah. Saya pun jadi tambah tidak betah!
Pukul
tujuh kurang lima, para petugas loket tampak berdatangan. Saya merasa
ada kelegaan yang menelusupi perasaan saya. Tapi alih-alih langsung
membuka tirai loket dan bersiap melayani para calon penumpang,
petugas-petugas itu malah duduk rileks sambil mengobrol satu sama lain.
Dengan asyiknya. Terkadang tertawa-tawa. Tak peduli para calon penumpang
yang bersesak-sesakan di baris anteran, berdiri pegal, kembang-kempis,
dan seperti ingin mati.
Mereka
tidak peduli. Para petugas itu terus berkicau seolah berada di sebuah
kafe yang memang diperuntukkan sebagai tempat bertukar cerita seru,
untuk bersantai-santai ria. Oh God, saya menghela napas panjang.
Apa lagi yang mereka tunggu? Apa para calon penumpang harus berjatuhan
pingsan dulu, baru mereka tergugah untuk menggubris? Baiklah, mungkin
ini berkaitan dengan peraturan, bahwa tirai baru akan atau boleh dibuka
ketika pukul tujuh teng. Tapi hei... hallow... please look at us... kami yang berada di baris anteran sudah nyaris sekarat! Apa salahnya memajukan waktu pembukaan tirai loket lima menit, just five minute... demi kami, demi para calon penumpang yang tengah dililit kesengsaraan... sengsara!
Namun
para petugas loket itu tetap bergeming, tak mau tahu, dan laksana
menutup telinga sekalipun suara-suara ocehan dari para penumpang untuk
mereka berterbangan, perintah ketus untuk segera membuka tirai keras
tercetus, dan ada pula yang menghardik―tepatnya mengancam―akan
memecahkan kaca loket saking jengkelnya.
Pukul
tujuh. Tapi perkara ketepatan waktu itu sepertinya cuma retorika. Omong
kosong. Para petugas loket itu belum jua bergerak dari duduknya, dan
masih meneruskan rumpian mereka yang sepertinya makin hot dan heboh.
Jelas keresahan di baris anteran kian jadi kronis. Saya mendengus
terang-terangan, dan sumpah, kala itu saya berjanji untuk ikutan berdemo
kalau nanti para calon penumpang lain tak lagi bisa mengendalikan
amarah mereka.
Namun
rupanya nasib para petugas loket itu masih terselamatkan. Mereka
kemudian menyibak tirai dan mulai bergegas melayani para calon
penumpang―yang sudah berkeringat basah kuyup, hampir kehabisan napas,
dan ingin teriak saking depresi. Dan tak lama, saya pun mendapatkan
tiket impian saya―yang saya perjuangan dengan pergulatan alot nan
melelahkan.
Dengan
lenggangan ringan, saya lantas beranjak menuju gerbong kereta, mengucap
selamat tinggal dalam hati pada barisan antrian yang menjalar panjang
hingga luar. Dan well, baru saja tiba di deretan kursi tunggu,
saya mendengar pengumuman dari pengeras suara yang memberitahukan bahwa
tiket kereta telah terjual habis, dan karena itu para calon penumpang
yang tidak kebagian harus menunda kepergian hingga esok hari atau
mencari alternatif transportasi lain.
Saya
menghela napas. Betapa cepatnya sang tiket―benda keramat itu―terjual
tandas. Barangkali perusahaan perkeretaapian harus mencari solusi,
menambah rangkaian gerbong kereta atau cara lainnya agar tidak terlalu
banyak para calon penumpang ditimpa kemalangan. Datang di pagi buta,
ikut mengantre dengan sabar dan penuh harap, tapi mereguk kesia-siaan.
Kecewa. Terlunta.
Namun
apa pun itu, di hari itu, saya tidak bisa untuk tidak melakukan itu:
bersyukur. Saya boleh bersimpati atau bahkan berempati pada orang-orang
di luar sana yang entah bagaimana nanti nasibnya, tapi bukankah yang
terpenting adalah nasib diri saya sendiri? Saya punya tiket, saya
selamat, saya bisa pulang, dan sudah selayaknya saya bersorak: horee!
Nah, demikianlah suka dan dukanya naik kereta api. Sungguh tidak singkat
jika mau diceritakan secara lebih rinci. Dan barangkali jari-jari saya
akan terbengkak mengetikkannya. Dan meski dalam postingan ini poin duka
bahasannya lebih panjang ketimbang bahasan tentang sukanya, saya tetap
suka naik kereta, tetap saya menyarankan bagi mereka yang belum pernah
merasakan naik kereta untuk mencobanya :D
Note: Tulisan
ini tak bermaksud menyinggung atau menjelek-jelekkan pihak mana pun,
melainkan semata-mata untuk dipergunakan sebagai sarana berbagi
informasi.
*Catatan