Pages

Senin, 01 Desember 2014

Pelita Di Ujung Senja

 Pelita Di Ujung Senja


Awal bulan Desember. Sedemikian berserak hal dan peristiwa tak tercatat, dan tiada terhitung kisah dan momentum yang tak terangkum. Dan segera setelah Desember ini tandas, usia saya akan kembali menua. Impian kian bertumpuk seiring dosa yang bertambah dan melapuk.

Awal bulan di akhir tahun. Mekanisme ini. Saya masih menyebutnya sebagai perjalanan. Dan sebagaimana perjalanan, kaki saya yang melangkah tidak akan pernah berhenti sebelum tiba pada tujuan. Ujung setapak ini. Dan saya tahu yang akan saya temui berwarna-warni.

Saya cuma lelah sesekali. Masih sebegitu jauhnya jarak tempuh saya, dan rasanya tungkai ini mati rasa dan nyaris habis daya. Jadi jangan heran kalau sesekali saya berhenti. Saya butuh menarik napas panjang, menoleh ke sekeliling, demi untuk menemukan energi itu. Dan terkadang saya mendapatkannya dari segala yang saya suka; sepotong bulan, semilir angin, atau langit senja. 

Saya akan beringsut lagi setelah energi saya terisi. Mencetak tapak demi tapak. Dan adakah yang tahu bahwa jalanan ini terlalu terjal, selalu terjal? Tertatih saya mengarungi lembah, bukit, bahkan melintasi jembatan rapuh. Ingin saya memohon pada dunia untuk menghamparkan jalan yang apik walau berliku. Namun tiada mungkin. Tiada jalan yang indah selagi status saya adalah manusia yang tidak mempunyai hak untuk merutuk atau merajuk. 

Hanya berjalan. Berjalan saja. Entah berkerikil, licin, atau berduri, saya hanya boleh percaya bahwa saya akan sampai di ujung sana jika memang sudah waktunya. Mereka yang bijaksana mungkin jadi kumpulan orang yang lebih dulu percaya. Namun bukan berarti sekarang saya kembali terlambat untuk mempercayai yang selanjutnya, bahwa di ujung jalan sana, pada sebentang senja yang saya suka, akan mekar selarik pelita yang menyinari akhir perjalanan saya. 

Sebelum kemudian saya berlalu melayang, terlarung bersama semilir angin dan menetap pada malam yang menutup masa, bersama bulan yang menggenapinya. 

Saya cuma lelah sesekali. Dan kini saya tengah sejenak berhenti, menoleh. Namun di mana geliat energi itu? Dan tak ada juga senja. Saya butuh senja. Saya butuh rona langit yang membuat hati saya bergetar dan damai karenanya. Dan haruskah saya berlutut pada dunia untuk memohon agar senja itu terekah sebentar saja? Atau saya pun tak memilki hak untuk mendamba hal sesederhana senja? 

Entahlah.

Pada senja saya ingin bercerita. Ingin saya lantunkan seluruh memar di batin saya menjadi sepucuk kidung pilu. Ingin saya sampaikan bahwa saya merindu entah apa. Barangkali semesta saya yang sebenarnya. Bahwa saya jemu dengan rutinitas kantor saya yang kini seolah tak menyuguh jeda, saya kesal pada makhluk-makhluk yang menganggap saya sebahagia mereka, saya marah pada keadaan yang menuntut saya untuk menghimpun materi sebanyak-banyaknya, saya mengamuk pada nasib yang seolah menghendaki saya terluka karena ketulusan saya, dan saya muak... muak pada diri saya!

Saya kepingin berlari kencang. Tunggang langgang. Melupa bahwa di sepanjang jalan ini tersebar kerikil, kelewat licin, dan bertaburan duri-duri tajam. Tetapi saya ngeri kalau-kalau nanti terjatuh atau telapak kaki saya terluka. Jangan. Cukup batin saya. Cukup batin ini yang mengenal dan begitu fasih akan sensasi perih. Cinta yang tak didengar, suara yang tak dilihat, dan isyarat yang tak dirasa. 

Terlalu rumit dan kacau. Saya ingin bersampai pada sang senja bahwa cinta murni saya mestinya dirasa, dan saya ingin dicintai walau itu sekali saja di seumur hidup saya. Saya ingin mengungkap bahwa suara ratap yang saya gaungkan mestinya didengar dan beroleh jawabannya. Saya ingin menutur bahwa isyarat halus yang saya tampilkan mestinya dilihat karena itu jelas sekali.

Namun seringnya tiada yang mengerti. Keanehan yang membuat saya bertanya-tanya, di manakah hati, telinga, dan mata? Bukan hanya inderanya, seseorang itu, mereka, tetapi dunia. Saya butuh segala yang manusia butuh agar diri saya seperti utuh. Dan apakah lagi-lagi saya tak berhak untuk mengidamkannya?

Mungkin. Dan mungkin tugas saya adalah berjalan saja, terus berjalan. Tidak perlu bermimpi muluk, tidak usah berangan yang bukan-bukan. Saya telah terlahir begini dan silahkan dunia menghujam karma. Bukan salah saya. Bukan salah siapa-siapa.

Dan walau saya tak berjumpa dengan senja, tetap saya tak bisa berlama-lama berhenti dan harus menjejaki lagi jalanan ini. Masih banyak yang harus saya lewati. Masih banyak yang harus saya alami, dan setiap inci dari segenap perjalanan ini adalah misteri yang harus saya urai hati-hati. Semua misteri akan membawa kejutan, dan sudah semestinya saya siaga. Tiada yang tahu apa yang nanti terjadi. Hanya Tuhan. Dan Dialah satu-satunya dzat yang akan menyambut saya di ujung jalan nanti: cakrawala lestari.

Kini, biarlah saya berlagak dewasa, menyederhanakan ragam pelik ini sehingga saya lebih gampang menghadapinya. Rombak paradigma. Bahwa saya akan tetap dan terus menderita jika tak berhenti menganggap jalan ini terkutuk dan berhawa neraka. Sebaliknya, saya akan seolah dibimbing menuju surga jika menganggap jalan ini petuah berharga. 

Jalan ini lebih pantas dijuluki kitab usang namun berisi padatnya ilmu. Darinya saya belajar. Menjadi benar setelah keliru. Menjadi tahu caranya bangkit setelah tersungkur dan sakit. Menjadi tahu bagaimana caranya mengatasi kerikil, kelicinan, dan duri. Jalan ini adalah paket mahal yang menentukan kondisi saya ketika kelak tiba di titik henti itu. Akan saya punguti harta karun; kompas, peta, atau remah roti sebagai petunjuk.

Kini, saya ingin mengusir pergi segala yang meniupkan kabut pada jalan ini. Pergilah saja jika engkau air mata. Batin ini tak layak untuk selalu didera. Dan jalanan ini haruslah terang tanpa penghalang. 

Dan nantikan saya... wahai senja dan pelita.



Jumat, 29 Agustus 2014

Diam, Meredam, Memendam

Diam, Meredam, Memendam


Saya bukan ingin mengeluh. Sunguh. Saya cuma ingin berkata. Dan saya tidak butuh siapa pun untuk mempercayainya. Cukup saya mengungkapkan segala. Membahasakan tuturan hati yang rasanya tidak sudi untuk menerus dibekap sunyi. Ia ingin bicara. Dan ia harus bicara.

Telah berulang kali saya salah. Telah berulang kali saya menyadari. Namun ketika dera di hati itu mengobrak-abrik lagi, nyatanya saya jatuh di lingkaran yang sama. Iya, saya melakukannya. Dan luka saya menjadi dua kali lipatnya. Batin saya sudah teriris, dan masih pula harus tergilas. Betapa sengsaranya.

Mudah-mudahan bulan ini adalah bulan terakhir saya dibelenggu sika. Sebagaimana saya berdoa di sebelumnya, agar bulan ini menjadi bulan pemulihan. Dan saya tidak akan pernah luput untuk merintih dan menyampaikan pada Tuhan bahwa saya terlalu rapuh untuk mengarugi semuanya. Saya sudah kelewat letih, jenuh, dan jera.

Mungkin saya tidak bisa menjelaskan detail ujian apa yang sedang menerpa hidup saya. Tapi konsep salah yang saya sebut-sebut adalah salah yang, tadinya, saya kira adalah sesuatu yang lumrah. Saya manusia biasa. Saya sendirian di rantau yang jauh. Saya seperti sebatang kara. Saya tidak ada tempat untuk berbagi mengenai wilayah privacy, hingga akhrnya ketika badai tak diharap itu menerjangi saya, dengan tanpa berpikir ulang saya memilih sosok yang satu itu: Ibu.

Kepadanyalah saya bercerita. Pada ibulah saya mengulas dan menyalurkan seluruh impitan yang mendesak saya. Tiada suara ternyaman yang ingin saya dengar kecuali kemengertiannya. Tiada orang terpercaya untuk saya mencurah segala kecuali dirinya. Bagi saya ibu adalah sentral dari jiwa saya, dan semua tentang saya Ibu wajib mengetahuinya. Tetapi, barangkali, semua hal tak selalu sama. Tetapi, barangkali, di titik itulah saya benar-benar salah.

Ibu yang mulanya bersedia menyimak dan mengurai wejangan mendadak seperti mual. Ibu saya marah. Ibu saya menangis, mengerang, terpekik lantang. Ibu tidak mau mendengar dan kenal soal masalah yang satu itu. Masalah lama yang tidak selesai-selesai bak saya memang sengaja memeliharanya. Ibu saya seakan lelah. Ibu saya seakan kecewa karena saya kembali salah.

Hingga kemudian saya memutuskan untuk memaklumi, memahami, dan menarik diri. Saya mencoba belajar lagi dari pengalaman yang terus serupa. Berusaha menelaaah lagi. Berupaya instropeksi. Mengevaluasi. Dan inilah akhirnya kesimpulan saya: bodoh, saya bodoh!

Dari situlah saya menyesal karena telah membebani Ibu saya, membebani jiwa saya karena telah membuat ibu nelangsa. Sungguh saya berjanji untuk tidak lagi-lagi melakukannya. Walau entah nantinya hati saya benar-benar retak atau luluh lantak. Saya kini pintar lantaran terus belajar, sebagaimana saya kenyang dengan rasa malang.

Lupakan. Mungkin saya terlampau mendramatisasi. Yang jelas saya telah memetik hikmah dari sebuah makna berjudul "salah". Kini saya punya paradigma sendiri. Kadang-kadang kamu harus diam walau hatimu sesak dan tak tahan untuk tidak bercerita, hanya agar seseorang atau lebih dari satu orang tidak terluka karena jadi pendengarmu. Karena kadang-kadang apa yang menjadi sesakmu dan ingin kamu ceritakan adalah suatu hal menyakitkan yang tidak ingin dia atau mereka dengar.

Lalu petuah lain terpetik. Berasal dari olah pikir dan perenungan relung. Bahwa orang-orang tidak perlu melihat kamu menangis, dan tersenyum adalah peraturan pertama yang harus kamu cipta dan kamu patuhi agar hidupmu tidak tampak menyedihkan. Kadang-kadang kamu harus jadi sosok yang cerdik mengelabui, dengan senyum itu, dengan wajahmu yang dibuat seolah ceria dan hatimu baik-baik saja.

Saya baik-baik saja. Akan berusaha untuk baik-baik saja. Harus baik-baik saja karena sudah seharusnya. Sekalipun saya seperti sendiri. Sekalipun tidak ada yang mengerti. Yang saya yakini, Tuhan pasti tahu dan selalu membantu. Yang saya percaya, Tuhan selalu ada. Itu saja. Dan saya akan tetap dan konsisten mematuhi peraturan saya yang selanjutnya. Sebentuk peraturan yang harus saya ikuti dan harus saya jalani. Tiga makna yang terangkum dalam tiga kata.

Diam. Meredam. Memendam.

Saya cuma harus diam, meredam apa pun yang ingin saya utarakan, ke pada siapa pun, jika itu mengusik atau bahkan melukainya, saya harus memendam semuanya sendirian, tanpa boleh mengadu, menyampaikan bahwa hati saya terlalu pilu. Saya harus diam. Meredam. Memendam. Tanpa siapa-siapa. Tak apa-apa. Tuhan ada. Senantiasa ada.

Minggu, 13 Juli 2014

Petang Ini, Mendung Yang Ini


Petang Ini, Mendung Yang Ini




Masih di bulan puasa, sore kemarin saya keluar kos untuk membeli makanan berbuka. Hari sedikit lebih redup dari kondisi pukul lima yang semestinya. Hawa separuh dingin langsung menyerbu saya, menelusup ke tulang-tulang dan berhenti di sana: jiwa.

Sembari terus melajukan kaki, jiwa saya seakan melemah. Dan saya mendapati sesuatu. Mendung itu. Mendung di atas sana. Mendung yang menjadi jelaga bagi angkasa. 

Mendung yang sendu. Mendung yang sunyi. Dan ingatkah dia, seseorang itu, ketika mendung serupa memayungi kami dulu? Kami yang bersama, melewati mendung demi mendung tetapi dengan tawa, senyum, dan tanpa pernah terselinap garis-garis air tangis kendati yang tertipis.

Dan kini, pada mendung ini, sesuatu terjadi. Mendung yang tak lagi sama. Dunia yang sudah berbeda. Saya berjalan sendirian di bawah mendung yang kelabu sendu, sunyi dan menyayati. Langkah-langkah saya bak mengambang dan tak menemukan tujuan. Saya bagai terlunta dan terombang-ambing di bawah mendung yang murung.

Mendung yang merana. Mendung yang masih ingin menurunkan air matanya. Dan, mendadak, saya tergerak untuk tengadah ke arah langit dan berkata: kok kita sama, ya?

Senin, 09 Juni 2014

Untuk Dia


Untuk Dia


April yang galau. Dan hari ini ia kembali menangis. Malam ini. Air mata itu sudah bagaikan hujan di bulan Januari. Ia sepertinya sudah mulai lelah, mulai ingin menyerah. Namun kendati ia tahu ia lelah, tetap ia tidak tahu bagaimana caranya menyerah, apakah ia sudah harus benar-benar menyerah, dan apa yang ia dapat setelah ia menyerah.

Ia tidak tahu.

Tapi ia selalu tahu, bahwa hingga kini hidup masihlah sama. Tidak adil. Dua kutub yang ia lihat dan ia pijak amat sangat tidak seimbang. Kakinya begitu limbung, dan berkali-kali ia hendak jatuh. Dan seringkali ia menatapi sekeliling. Dunia gelap seolah tak ada matahari. Ia tinggal seorang diri di bumi ini. Tanpa punya penolong, penguat, tempat untuk menyampaikan cerita.

Takdir bagai roda yang berputar cepat nan monoton. Terus melaju tanpa kenal kompromi, dan sekalipun ia telah berteriak "berhenti" sekian kali, tetap roda itu tak mau tahu. 
Kejam. 

Itulah yang membawanya kembali meringkuk, di bulan April ini, menghujankan tangis sekerap air langit yang membasahi bumi di bulan Januari.

Buminya. Yang sungguh gulita bagai tak diguyuri sinar surya.

Namun meski demikian, belum jua ia jera. Kembali ia masuk ke dalam kamar untuk berdoa. Meminta keajaiban pada Tuhan, mukjizat, anugerah, atau apa pun itu yang bisa mendatangkan rasa bahagia untuk dirinya.

Dia. Yang teraniaya. 


*Catatan 11 April 2012.

Cinta Tetaplah Kita


Cinta Tetaplah Kita



Bersuaka di pelukmu...
Aku dapatkan pelabuhan agung itu
Kau mendebarkan darah penyayang
Tak mau aku melepas lagi
Berbisik di pelukku...
Kau temukan mimpi sederhana itu
Aku menjalarkan napas pengasih
Tak mau engkau melepas lagi
Bila nanti kita terlerai, berpisah karena badai...
Peluk itu tetaplah hidup lestari
Sarana untukku berlindung diri, kau menuturkan dengan teliti
Dan cinta tetaplah kita
Perpaduan kamu dan aku 

*Catatan 26 Februari 2012.

Saya VS Angka



Saya VS Angka



 Seminggu penuh di awal bulan ini merupakan masa-masa yang bikin otak saya berasap, bahkan melepuh. Betapa tidak? Untuk kali pertama dalam hidup, saya harus bertempur keras dengan hal yang paling tidak saya sukai: angka!

Barangkali jadi akuntan tidaklah terlalu sulit, apalagi jika telah tahu teknik me-manage pekerjaan tersebut. Tapi bagi saya yang pemula, dan lebih spesifik lagi "saya yang membenci angka"... jadi akuntan lebih seperti sebuah karma. Sungguh-sungguh karma.

Sedari kecil saya memang tidak pernah cocok dengan segala macam yang berbau hitung-hitungan. Saya termasuk salah satu manusia yang mengutuki pelajaran matematika, dan bahkan pernah tercetus oleh saya: untuk apa sih pelajaran matematika ada di dunia ini? Berangkat dari perkara itu, nilai matematika saya sudah pasti selalu jelek. Tidak pernah dapat delapan di rapor, dan bahkan pernah dua kali nilai matematika di rapor saya merah padahal saya juara kelas.

Ketika masuk sekolah kejuruan setingkat SMA pun saya tidak memilih jurusan akuntansi. Benar-benar saya malas terlilit dan terbelit oleh angka-angka yang menyulitkan. Saya ingin kehidupan sekolah saya santai, dan ketika masuk di bangku kuliah saya juga tetap mengambil jurusan yang aman-aman saja, yang artinya tidak berjumpa terlalu sering dengan mata kuliah hitung-menghitung, hingga... hari itu tiba.

Ya, hari itu, hari ketika saya memutuskan untuk menerima pekerjaan sebagai staf akuntan. Sejenak saya merenung, menganalisa apakah tindakan saya tepat atau tidak, dan apakah saya sedang khilaf, gila, atau... tapi ternyata tidak. Saya sadar akan apa yang telah saya tetapkan, saya melakukannya bukan semata karena emosi sesaat, dan saya masih waras. Satu yang kemudian jadi pertanyaan saya: bagaimana nanti kedepannya?

Dan muncullah fase-fase serba tak terduga itu. Mendadak dunia saya jungkir balik. Angka-angka seakan telah merombak habis kenyamanan saya, menyulap ritme hidup saya yang tadinya sederhana menjadi kompleks dan ribet, menghadiahi saya napas kembang-kempis, jantung yang tersesakkan, energi yang terkuraskan, mental yang diuji, kestresan tingkat tinggi, membuat saya bak dikejar-kejar anjing abnormal. Angka-angka jadi makanan saya sejak hari itu, jadi rutinitas pekerjaan yang mau tidak mau harus saya tangani. Saya seakan menceburkan jiwa dan raga ke lubang buaya. Bunuh diri. Tapi anehnya, saya tidak jua ingin mundur.

Memang, kepala saya kerap dirajam penat oleh angka-angka yang saya temui nyaris setiap hari, mata saya sering berkunang-kunang, dan pandangan saya berputar-putar. Tapi inilah takdir. Realitas. Barangkali saya mual, muak, dan mau muntah. Tapi sejak awal saya ditawari pekerjaan itu, satu yang terselip di pikiran saya: apa salahnya kalau saya mencoba dunia baru?

Ya. Dunia yang betul-betul tidak pernah saya impikan. Bukan bekerja sebagai staf administrasi biasa seperti yang saya idami, bukan pula sebagai pekerja yang berkecimpung di bidang kepenulisan. Semesta baru. Objek baru. Bahan mainan baru. Dan satu alasan saya ketika mantap untuk menerimanya: saya ingin mendapat pengalaman yang menakjubkan.

Dan sedikit-banyak saya telah merengkuhnya kini. Sekalipun di awan bulan depan saya kembali harus bergulat dengan laporan-laporan accounting yang menyiksa, kembali meronta setengah mati, kembali berdarah-darah. Saya tidak akan mundur. Karena apa? Karena saya tipe pejuang, bukan pecundang.

Saya VS angka. Lucu. Dan nampaknya itu istilah yang telah kadaluarsa. Sekarang saya seolah telah menyatu dengan angka, bersahabat, dan bahkan saling mengasihi. Saya cuma harus lebih gigih belajar, ulet, dan membiasakan diri. Tak ada hal yang tidak bisa ditaklukkan di bumi ini selama kita mau, meski pada mulanya kita memang tidaklah mampu.

Saya VS angka. Demi pertempuran itu saya merelakan diri saya tak ubahnya pekerja rodi, beraktivitas dari pagi hingga malam, diganggu oleh kalkulasi busuk di alam mimpi, dan mencecap sebentuk hayat yang laksana tak lagi wajar. Tidak apa. Sekarang memang saya tengah berevolusi, berkembang menjadi manusia baru yang sibuk mengunyah santapan asing dan siap-siap menelan sensasinya. Semoga sungguhan menakjubkan. Semoga segalanya menyertakan hikmah, walau mekanismenya tidak senantiasa indah.

Dan berkat kejadian ini, tiba-tiba batin saya terbetik oleh sesuatu. Barangkali selama ini saya tidak membenci angka, hanya menakutinya. Dan sudah hukum alam untuk kita bertabrakan dengan apa yang kita takutkan. Pasti. Dan ketika siapa pun tidak sanggup dan tidak mungkin menghindar lagi selayak saya, maka tak ada pilihan lain kecuali menghadapinya. Karena seperti kata pepatah, cuma itulah satu-satunya cara agar ketakutan tersebut terkalahkan... terhancurkan.

Percayalah.


*Catatan 11 Februari 2012.

A New Life


A New Life


Hari ke 365 (atau ke 366?)

Entahlah, itu tak lagi penting. Yang jelas ini adalah hari terakhir di bulan Desember. Hari terakhir di tahun 2011.



Dalam hitungan jam, gema suara terompet akan membeludaki udara, beradu dengan gebyar kembang api yang membuncah seakan ingin membakar langit. Tahun yang baru. Betapa momentum dan sakralnya detik itu, hingga sebagian orang seolah berdosa jika tidak merayakannya. Dan saya? Hmm... saya bingung menjawab. Atau barangkali punya banyak jawaban? 

Entahlah, itu tak lagi penting. Yang jelas saya pun seperti mereka, berdebar-debar   menyambut pergantian hari, bulan, tahun. 




2012. Akan ada apakah di sana? Segudang teka-teki tentu melambung dari banyak benak, tak pula ketinggalan saya. Terlalu banyak kisah yang telah saya lalui di tahun 2011, terlalu banyak kepahitan hingga rasanya saya mual dan ingin muntah, terlalu banyak perenungan, dan tentunya terlalu banyak kebahagiaan yang saya impikan dan saya doakan dalam setiap komunikasi yang terjalin antara saya dan Tuhan.

Saya ingin ada perubahan, seperti pun semua orang di dunia ini. Saya ingin kepahitan di tahun 2011 tak akan terulang di tahun depan, atau paling tidak kepahitan itu terkurangi. Dan terutama, saya ingin kebahagian-kebahagiaan yang menjadi ekspektasi saya dapat mewujud satu per satu di tahun yang telah berganti baru.



Oke, saya rasa cukup, saya tidak ingin kelamaan curhat dan menciptakan kebosanan. Barangkali akan jauh lebih indah jika saya membicarakan tentang euforia yang senantiasa menjejali malam tahun baru. Malam nanti.


Saya sependapat bahwa pergantian tahun layak dirayakan. Tapi menurut saya tidak harus, apalagi wajib. Alangkah baiknya jika pergantian tahun diisi oleh ajang evaluasi diri, perencanaan masa depan, dan deretan impian baru. Jujur, nanti malam saya hendak mencoba berkontemplasi, mengeja dan membaca apa-apa saja kekeliruan saya di tahun 2011 ini (yang pastinya banyak sekali). Saya pun hendak menyusun struktur rencana, apa-apa saja yang akan saya lakukan di tahun mendatang. Tak ketinggalan, dalam hati saya hendak mengukir mimpi-mimpi baru (dan yang ini pastinya jauh lebih banyak).


Mungkin saya terkesan aneh, sok bijak, atau entahlah apa sebutannya. Tapi hal-hal di atas, menurut saya, adalah hal-hal krusial yang layak ditindakkan, harus, bahkan wajib. Akan memberi manfaat? Tentu. Tapi jika pun tidak, dengan begitu, minimal kita telah terjelma menjadi manusia dewasa. Menghiasi pergantian tahun tidak semata-mata dengan raungan terompet dan ledakan kembang api. Ada yang lebih bermakna ketimbang melakoni ritual-ritual itu, dan barangkali dapat membantu kita dalam upaya menggapai takdir yang baru. Kehidupan baru.

Namun meski demikian, bukan berarti saya membenci suara terompet dan mengantipati kembang api. Saya suka keduanya, lebih-lebih kembang api. Saya terkagum-kagum setiap kali letupan kembang api menghiasi angkasa hitam, takjub pada gemuruh bunyi yang diseruakkannya, dan nuansa yang timbul karenanya. Dan mudah-mudahan, malam ini langit tidak meluruhkan hujan, supaya saya bisa menyaksikan eloknya percik kembang api... jika tetangga saya menyalakannya :D


Anyway, sepertinya tahun depan akan jadi hidup yang benar-benar baru untuk saya, karena kemarin malam, sekitar pukul satu kurang, novel saya selesai. Huf. Saya bahagia dan puas. Dan sekalipun naskah panjang itu masih perlu direparasi, diedit sana sini, setidaknya saya sudah punya tabungan untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya, tapak demi tapak.


Dan sekarang, walau tidak ada lawan bicara dan tak pula ada yang mendengar, tetap saya ingin mengucapkan: selamat menyambut tahun baru, semoga di tahun depan kita mendapat karunia yang lebih gigantis dibanding tahun yang sudah-sudah.


Dan semoga kita lebih pandai bersyukur.


Cheers... :)

 
*Catatan 31 Desember 2011.

Kereta... Oh Kereta...


Kereta... Oh Kereta...



Baiklah... hmf, setelah berbulan-bulan tidak melakukan update, setelah bersibuk-sibuk mengganti template dan tak menemukan yang sesuai dengan hati, setelah kerepotan mengganti alamat "rumah" plus mengganti judul tampilan dan kemudian mentok... inilah postingan perdana saya, sebagai sekuel dari postingan-postingan sebelumnya, yang barangkali tak ada yang terlalu penting.

Oke, dalam kesempatan kali ini saya akan membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan alat transportasi favorit saya: kereta api. 

Entah sejak kapan saya menggemari angkutan umum yang satu itu. Mungkin resminya sejak kali pertama saya masuk kuliah di Palembang dan sering menclok di atasnya. Yang jelas, ada daya magis yang membuat saya tersihir oleh rangkaian gerbong panjang mirip ular tersebut. Liukan-liukannya ketika melaju, decitan-decitan rodanya yang mencengkram kokoh hamparan rel, bahkan suasana di petak kendaraannya, menyembulkan semacam kekhasan yang mustahil saya jumpai pada alat transportasi komersial lainnya. Dan kekhasan itulah yang kemudian seperti menyeret saya dalam nuansa jatuh hati. Banyak sekali cerita yang saya dapatkan selama saya menjadi penumpang setia kereta api. Sedih, senang, lucu, dan juga sebal-sebalan. Amat beragam, dan berkombinasi jadi sensasi yang unik. Bahkan karena itu, otak saya tersambar inspirasi gemilang untuk suatu hari menuliskan kisah berunsur kereta api ke dalam sebentuk novel. Tapi itu baru angan-angan, sekalipun sudah dari jauh-jauh hari saya mendapatkan judulnya :p

Okay, back to main topic. Barangkali sekali lintas tidak ada yang istimewa dari kendaraan umum bernama kereta api. Dahulu pun saya berpendapat begitu. Tapi tidak setelah saya beroleh rupa-rupa makna dari ratusan perjalanan yang saya alami dengan menggunakan jasa transportasi tersebut. Saat masih zaman kuliah, paling tidak saya naik kereta dua kali dalam seminggu. Kalaupun ada yang dua kali dalam dua minggu atau dalam tiga minggu, itu terbilang jarang, karena semasa kuliah saya rutin mudik tiap minggu. Wait... mudik? Oke, kalau sudah tiap minggu mungkin sebutannya bukan mudik lagi, tapi "kesono-kemari" alias "wara-wiri" :)

Tapi begitulah. Tempat kuliah yang berada di kota besar dan rumah saya yang terletak di desa kecil, membuat saya terhubung terus-menerus dengan kereta api, bagai sapasang sahabat yang lengket dan tak mau lagi dipisahkan. Jika ditanya apakah tidak ada alternatif kendaraan lain untuk bepergian, jawabannya tentu "ada". Palembang―tempat kuliah saya―yang posisinya nun jauh di sana dari desa saya, bisa saja dijangkau dengan motor (kalau stamina mumpuni), atau dengan jasa travel. Tapi sebagaimana itu, tentu saya memilih kereta api sebagai pilihan karena saya punya alasan. Pertama, saya mustahil pakai motor lantaran saya tidak bisa mengendarai motor. Oke, ini aib dan silahkan tertawa sekeras tawa setan, tapi entah iya atau tidak, terus terang saya agak fobia menyetir motor. Dan kedua, saya terlampau enggan kalau harus pakai travel. Tahu kenapa? Karena "jelas" ongkosnya lebih mahal!

Tapi tunggu dulu, sebab itu bukanlah alasan inti. Di samping masalah keefesienan, bagi saya masalah keefektifan lebih penting untuk diperhitungkan. Naik travel, artinya mesti melancong ke loket yang bernaung di kota kecil dengan jarak cukup panjang dari desa saya. Dibutuhkan waktu kurang-lebih satu setengah jam untuk bisa sampai ke sana, waktu yang sungguh tidak sedikit. Sementara kalau naik kereta? Saya hanya perlu waktu sepuluh menit untuk mencapai stasiun, karena desa kecil saya memang memiliki stasiun kereta api, dan titik lebihnya... dekat dari rumah!

Terang sudah. Konsep ekonomis dan praktis. Demikianlah yang memicu saya untuk memanfaatkan jasa kereta api tiap ingin ke luar kandang. Dua alasan yang berfusi dan menggenapi, begitu kuat dan masuk akal. Dan saya percaya, bahwa tidak saja saya yang mempunyai pola pikir seperti itu, tapi juga orang-orang lain. Oke, mungkin sebagian orang tidak sepakat, terutama bagi mereka-mereka yang tidak terlalu menyukai kereta api, atau bahkan mengantipati. Itu wajar, karena tiap orang berdiri di garisnya masing-masing. Dan sepertinya itu hanya soal selera. Tapi bagi saya yang berlogika peka (ini kata-kata sombong, jangan dicontoh), tentu saya berani bilang begini: kenapa harus repot kalau ada jalur yang lebih enak? 

Terlepas dari semua itu, naik kereta sangat diwarnai suka dan duka. Well, saya akan mulai dengan sukanya. 

Tidak bisa dielak lagi, saya adalah seorang pengkhayal kronis. Di mana pun saya bertengger, jika itu memungkinkan, kepala saya akan mulai aktif merangkai imaji-imaji tanpa batas, terkadang liar, dan segalanya bergulir tanpa saya sanggup mencegahnya. Merujuk dari realita tersebut, sepanjang pengetahuan saya, kereta merupakan salah satu tempat ternyaman saya untuk berkhayal, selain kamar dan kamar mandi. Di atas kereta yang tengah berjalan perlahan, apalagi saat saya duduk tepat di pinggir jendela, seliweran imaji pasti akan langsung menjejali otak saya. Tidak jarang saya mendapat ide-ide antik nan segar untuk tulisan saya, berkat proses berkhayal alami itu. Dan sudah barang tentu saya diuntungkan. 

Tak hanya itu, zona suka lainnya pun ternyata masih ada, yakni terpenuhinya kebutuhan jiwa petualang saya. Benar. Pada dasarnya saya hobi berpetualang. Dan walau tidak pernah melakukan petualangan yang sesungguhnya, melalui perjalanan saya selama di dalam kereta, saya seolah telah melangsungkan suatu petualangan. Banyak yang terjadi pada petualangan saya itu, kesemuanya dijahit dan dibebat oleh semacam kesan yang tidak gampang dilupakan. Hingga kini kesan-kesan itu belum jua sirna dan masih menempel di dalam ingatan saya. Dan salah satu yang paling kental, adalah ketika gerbong kereta mati lampu dan sisa perjalanan saya ke Palembang harus dihabiskan dengan keadaan gelap-gelapan. Malam, gulita, tak bisa bergerak dan melihat dengan leluasa. Barangkali orang-orang kala itu berkeluh kesah, tapi tidak dengan saya. Duduk di tepi jendela dan merenung, saya malah tersenyum-senyum senang. Tatapan saya terlontar ke luar kaca jendela, dan saya ditakjubkan oleh kerlip-kerlip bintang di langit dan sinar bulan yang menimpa bumi, bahkan seperti turut menimpa wajah saya. Benar-benar eksotis. Mempesona. Dalam kondisi gerbong terang mungkin pemandangan itu akan nampak biasa-biasa saja, tapi ketika gerbong diselimuti kepekatan, mendadak pemandangan itu jadi dominan dan mencolok elok. Terlihat begitu jelas. Saya seperti menyatu dengan langit yang membentang luas, dan saat kereta melewati deretan rerimbaan, saya merasa seakan sedang dibawa menembusi hutan Amazon yang misterius tapi cantik. Terdengar konyol? Mungkin. Tapi bagi saya, itu adalah pengalaman yang istimewa. 

Poin suka seterusnya adalah bertambahnya teman baru. Tidak satu-dua kali saya mendapat teman baru ketika naik kereta. Entah itu cewek, cowok, sebaya dengan saya ataupun lebih tua dari saya, mbak-mbak, mas-mas, atau bahkan ibu-ibu dan bapak-bapak. Dan orang-orang itu berasal dari berbagai latar belakang kehidupan, status, juga profesi. Hanya segelintir saja yang kemudian bertahan menjadi teman saya, karena perpisahan mutlak terjadi setelah hari perkenalan itu. Tapi sekalipun mereka hilang dari peredaran hidup saya, paling tidak mereka tercemplung dalam daftar orang-orang yang sudi berkenalan dan mau menjadi teman saya. Untuk catatan, saya tergolong manusia yang lumayan sukar bergaul. Maka kalau sampai saya bisa berkenalan dan menjalin pertemanan―sekalipun temporer―dalam sekali jumpa dengan orang lain, berarti saya hebat dan layak dihujani sorakan tepuk tangan :D

Nah, kini tibalah saya beranjak ke sisi duka. Phuh. Kata orang, naik kereta api lebih banyak dukanya daripada sukanya. Dan menurut saya? Hm... tidak juga. Mungkin karena saya penggemar berat yang cukup susah untuk berkhianat (tersenyum bangga dan memamerkan gigi).

Baiklah, di antara duka naik kereta api yang pasti diasumsikan seabrek-abrek, di sini saya akan mengulas garis besarnya saja. Pertama, duka naik kereta api adalah manakala sang "primadona" itu tak muncul-muncul di stasiun, padahal sudah ditunggu sekian jam dari siang hingga sore, bahkan terkadang malam. Para penanti kereta layaknya saya memang dituntut punya kesabaran ekstra. Apalagi kedatangan kereta kerap tidak menentu. Kadang normal, kadang cepat, tapi kadang ngaret minta ampun. Semua tergantung pada kelancaran perjalanan kereta itu sendiri.

Duka lainnya yakni ketika kereta sedang penuh sesak. Jangankan untuk duduk dan berkhayal-khayal ria, untuk berdiri dan bernapas tentram pun sulit bukan kepalang. Tapi masa-masa seperti ini tidak terjadi terus-menerus, hanya pada saat hari-hari khusus yang membuat arus pulang dan arus balik dibeludaki penumpang. Dan ketika tiba momen-momen penurunan jumlah penumpang, otomatis gerbong kereta melengang dan longgar. Tidak hanya duduk, bahkan orang-orang bisa tidur terlentang di atas jok.

Bertemu dengan manusia-manusia yang pelit berbagi tempat duduk. Inilah duka yang paling menyesakkan. Pernah sahabat saya mengomel panjang-pendek ketika berhadapan dengan manusia-manusia jenis tersebut. Waktu itu sedang musim liburan sekolah dan kuantitas penumpang melonjak drastis. Kami harus pintar dan sigap mencari bangku kalau tidak mau berdiri terlunta di lorong gerbong atau bahkan di depan pintu WC. Dan apesnya, waktu itu kami dipeliti oleh penumpang yang padahal bangkunya masih muat diduduki dua orang lagi. Dia tidak mengizinkan kami duduk dengan alasan bahwa bangku itu telah penuh dan si penunggunya sedang ke kamar mandi. Tapi setelah saya dan sahabat saya berdiri terhuyung-huyung di lorong gerbong, ternyata bangku itu tetap kosong bahkan setelah nyaris satu jam. Please think. Mana ada orang pergi ke kamar mandi sampai sebegitu lama, kecuali di kamar mandi dia tiba-tiba melahirkan atau at least, ketiduran. Dan sahabat saya yang memperhatikan itu, tak dapat lagi membendung unek-uneknya. Beruntung dia cuma melontarkannya dengan menggumam. Kalau dia mencetuskannya di depan "si pelit" tadi, saya yakin akan meletus sebuah pertumpahan darah (oke, ini berlebihan). Begitulah. Di dalam kereta memang banyak sekali bergentayangan manusia-manusia egois yang tidak punya perasaan, tidak tahu diri. Mereka tidak secuil pun menghiraukan nasib orang lain. Terserah orang lain mati gempor lantaran berdiri, yang penting mereka bisa tidur selonjoran dengan sejahtera. Sungguh kejahatan sosial yang terkutuk! 

Tapi saya bersyukur, karena saya lebih kerap bertemu dengan orang-orang yang baik hatinya, mau membagi kursinya dengan bahasa wajah dan bahasa tubuh yang ramah dan ikhlas. Bahkan terkadang, mereka rela bersempit-sempit demi menyelusupkan saya di bangku mereka yang sebetulnya sudah tidak punya lagi space. How lucky I am. Apakah ini karena saya juga kerap melakukan hal yang serupa? No, sepertinya tidak. Ini pasti karena aura paras saya yang memancarkan daya pikat nan putih, yang membuat siapa pun luluh hatinya dan mau tak mau menjadi welas asih (ngelantur...).

Duka berikutnya adalah para pengamen yang datang-pergi silih berganti. Oh God. Entah ada berapa pengamen yang menebar "perform" di sepanjang perjalanan. Ada yang suaranya cukup oke dan layak diberi receh (atau uang kertas, atau bahkan cek). Ada yang suaranya bikin orang-orang memekik dalam batin: stop it, suara lo kayak mau ngebunuh gue! Dan ada lagi yang suara ancur, tampang ancur (maaf), tapi raut mukanya mengguratkan kemelasan tingkat dewa. Model beginilah yang membuat orang-orang dirembesi rasa iba dan tergugah untuk merogoh kocek mereka demi bersedekah. Namun di antara tipe-tipe pengamen di atas, ada yang paling saya―dan pastinya semua orang selain saya―benci. Siapakah dia? Pengamen yang tak beretika! Ya. Pengamen yang akan mengumpat frontal jika tidak "dibayar", terkadang agak memaksa, bahkan pernah mereka membangunkan saya yang tengah tertidur dengan menggoyang-goyangkan wadah uang mereka―bungkus permen dengan gerombolan uang logam sebagai kencringan bunyi―di depan wajah saya. Meski kemudian saya terusik, tentu saya yang seorang preman kereta cuek-cuek saja. Tetap pura-pura tidur dengan tetap menutup mata, dan membiarkan pengamen sialan itu minggat dari hadapan saya. Betul-betul saya heran dengan pengamen yang demikian. Haruskah saya memberi mereka uang, sementara saya tidur dan tidak mendengar mereka bernyanyi? Haruskah mereka sebegitu "santun", sampai-sampai membangunkan saya dengan cara sebrilian itu? Dalam benak, saya bertanya-tanya ketus: sebenernya elo ngamen apa nodong?

Duka selanjutnya yakni keriuhan suasana di gerbong kereta dan bebauan tak sedap yang mengepung dari segala arah. Sahabat saya salah satu orang yang paling mempersoalkan dan terganggu dengan perkara yang satu ini. Ada kalanya titik-titik di radius bangku yang kami duduki aman dari terpaan bebauan, meski keberisikan tetap menerjangi gendang telinga (hei, namanya juga sarana transportasi umum, kalau mau hening dan tenang kenapa tidak bertapa saja di kuburan Cina?). Tapi ada kalanya kami apes. Duduk di dekat WC yang aromanya memabukkan, ditambah bau pempek pedagang asongan yang menurut sahabat saya menyengat dan bikin mual, ditambah bau keringat dari orang-orang di samping dan depan kami, dan harus pula ditambah dengan asap rokok yang beterbangan gemulai, menerpa hidung, meracuni paru-paru. Sungguh paket yang luar biasa lengkap. Dan tinggallah kami megap-megap, duduk gelisah sambil berkipas-kipas, membisikkan gerutu pada satu sama lain.

Duka yang terakhir adalah kegiatan mengantre tiket di stasiun. Ketika hendak ke Palembang dari desa saya, memang saya tidak perlu berpayah-payah melakukan itu, dengan ganjaran tidak bisa memiliki tiket. Tapi ketika dari Palembang dan saya hendak pulang ke desa saya? Harus!

Sebenarnya mengantre tiket tidak memulu menjengkelkan. Tergantung situasi. Jika penumpang sedang sepi, kegiatan mengantre tiket akan menjadi ritual yang serupa dengan rutinitas konvensional lainnya, bahkan kadang menyenangkan dan saya bisa mengantre sembari berkhayal ringan. Tapi kalau penumpang sedang ramai, maka mengantre tiket akan terasa begitu menyiksa. Penderitaan keji!

Menyinggung masalah antre tiket dan penderitaan, baru-baru ini pun saya mengalaminya. Tepatnya dua hari sebelum lebaran Idul Adha, saya pergi ke stasiun Kertapati untuk pulang ke desa saya. Malam hari sebelum hari itu, Ayah saya menelepon dan menyuruh saya untuk datang lebih awal ke stasiun, karena katanya penumpang sedang membanjir. Tapi saya acuh tak acuh dan datang sebagaimana waktu-waktu biasanya, setengah tujuh pagi dari rumah. Hasilnya? Orang tua tak pernah salah!

Saya pikir hari raya Idul Adha tidak terlalu berpengaruh terhadap jumlah penumpang kereta api, karena mungkin, banyak orang yang tak memutuskan pulang ke kampung halaman. Toh Idul Adha tidak seheboh perayaan Idul Fitri, dan libur untuk hari besar itu pun sangat singkat. Tapi nyatanya, fakta bicara lain. Terlalu banyak orang yang punya kampung halaman dan ingin menghabiskan hari raya kurban bersama keluarga di rumah asal mereka. Tak peduli seberapa singkat libur dari lebaran itu. Dan yang menciptakan kepelikan, orang-orang tersebut meminati kendaraan yang sama: kereta api. Walhasil, ketika pukul tujuh kurang saya menginjakkan kaki di stasiun Kertapati, para pengantre tiket telah memanjang dan luber hingga menyentuh pelataran parkir. Saya menelan ludah melihatnya, dan tiba-tiba takut tidak kebagian tiket.

Tegang dan resah, saya nekat untuk berdiri di ujung antrean. Orang-orang yang datang setelah saya langsung menghambur untuk mengantre di belakang saya, rapat dan berdesakan. Badan saya yang kecil, tak pelak jadi korban sebelum hari raya kurban. Saya terimpit dan terjepit oleh badan-badan besar orang yang berdiri di depan dan di belakang saya. Tapi saya tetap bertahan. Tepat pukul tujuh, loket dibuka. Berangsur-angsur orang yang mengantre di depan saya menyusut, berlalu dengan membawa tiket yang telah mereka dapatkan dari petugas loket. Saya was-was karena antrean masih amat panjang. Dan ketika saya yang tadinya baris di luar berhasil merangsek ke pintu masuk stasiun, ketika orang-orang yang mengantre di depan saya tinggal kira-kira dua puluh orang... tiket habis!

What? How pity I am...

Nyaris saya menjerit frustasi, dan nyaris saya menyambangi petugas loket demi merengek-rengek padanya untuk disediakan satu tiket bagaimana pun caranya, selayak anak kecil merengek minta dibelikan balon. Tapi untunglah saya masih waras dan masih bisa mengontrol diri. Seraya berjalan lemas tanpa gerundel, saya berusaha menerima suratan nasib. Keluar dari stasiun bersama jubelan orang-orang yang menerbangkan jutaan dumel. Tapi lucunya, masih juga ada orang-orang yang tidak bergeser dari baris antrean, sekalipun tirai loket telah ditutup telak dan pengumuman tiket habis telah berkumandang berkali-kali dari pusat informasi.

Actually, fenomena kehabisan tiket tak akan terlalu menyakitkan, andai peraturan PT KAI masih sama seperti dulu. Sekadar info, terhitung sejak bulan Oktober (kalau tidak salah), PT KAI memberlakukan peraturan baru mengenai sistem angkut (atau sistem apalah saya kurang mengerti bahasa pastinya). Sistem baru itu yakni hanya menjual seratus persen tiket yang mencantumkan nomor tempat duduk, yang artinya, PT KAI tidak lagi menjual tiket berdiri. Dulu, segila-gilanya ledakan calon penumpang yang memadati stasiun, orang-orang tak dibuat begitu khawatir lantaran masih ada tiket berdiri sebagai penolong. Jadi kalaupun tidak kebagian tiket duduk, asal punya tiket berdiri, jiwa-raga tetap bisa terangkut oleh kereta dan terhantar sampai tujuan. Lagipula, di kondisi genting dan mendesak, orang-orang tak mungkin lagi memikirkan bisa duduk atau tidak. Yang terpenting bisa naik ke dalam gerbong dan bisa tiba di rumah dengan selamat. Itu saja. Titik!

Namun kini, semua telah berubah. Tanpa memiliki tiket duduk, orang-orang tak diperbolehkan menaiki kereta. Bahkan demi memperkuat peraturan itu, gerbang peron dijaga ketat oleh petugas PT KAI dan aparat. Mereka melakukan pemeriksaan tiket pada penumpang yang hendak melintasi peron, satu per satu, dan pemeriksaan itu berlangsung dengan ketat nan awas. Yang lebih hebatnya lagi, sekarang istilah "pengantar" penumpang tidak lagi berlaku. Para pengantar yang menemani sanak saudara, sahabat, teman, pacar atau siapa pun, tidak diperkenankan memasuki kawasan inti stasiun. Cukup mengantar sampai di depan peron, mentok sampai di situ, karena yang diizinkan melewati pintu peron hanya orang-orang yang mempunyai lembaran tiket. Entah apa sebabnya, saya tidak terlalu tahu. Barangkali hal itu digalakkan untuk menyiasati manusia-manusia nakal yang berlagak jadi pengantar, tapi tahu-tahu menyusup sebagai penumpang gelap tanpa tiket.

Jelas peraturan baru ini direspons oleh pro dan kontra yang tidak sepele. Lebih-lebih mengenai poin pertama. Alangkah tragisnya orang-orang yang tidak kebagian tiket, sementara mereka telah mengantre terpegal-pegal, tersengal-sengal, terkesal-kesal. Tak ditampik, peraturan baru itu diadakan demi meningkatkan kenyamanan para penumpang. Supaya gerbong tidak padat sesak, tak ada penumpang yang berdiri seperti anak tiri, dan barangkali juga untuk menimalisir kejahatan di atas kereta. Tapi apa pun itu, saya tetap miris, karena peraturan baru yang terjelma seakan membuat shock saking tidak biasanya. Bagaimana tidak? Orang-orang yang dapat tiket dan boleh naik ke gerbong memang akan disuguhi kenyamanan, bisa tersenyum bahkan tertawa. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang tidak dapat tiket dan tidak terangkut? Mereka gigit jari, seakan dihujani kalimat "good bye, ke laut aja lo", dan sudah tentu gondok tak terukur. Menurut saya, tercipta sebuah ketimpangan yang memprihatinkan di sini. Terlebih tidak terjalinnya keseimbangan antara stok tiket yang disediakan dengan kapasitas calon penumpang yang meluap bagai lautan manusia. Terlabih, saya pernah mengalaminya sendiri.

Now, let's back to my story. Setelah pasrah dan melapangkan dada seluas lapangan bola, saya yang tidak bisa pulang karena perkara tiket, memutuskan untuk menunda keberangkatan. Salah sendiri datang siang, demikian hati saya mencemooh. Maka saya pun bertekad untuk esok harinya bangun jam empat pagi, bahkan jika perlu jam tiga pagi. Dan itu sungguh-sungguh kejadian. Hari berikutnya saya bangun pagi sekali, rekor terbaru saya semasa hidup. Dan tepat pukul setengah lima subuh, saya telah siap dan keluar dari rumah. Awalnya saya agak linglung. Saya mau naik apa? Mana ada angkot dan bus pada jam seperti itu. Bahkan mungkin ayam pun belum berkokok.

Untungnya tepat ketika saya sampai di jalanan depan untuk mencari kendaraan, seorang lelaki paruh baya menghampiri saya dengan motornya. Rupanya ia seorang tukang ojek (salut sekali, karena dalam waktu sepagi itu ia telah stand by cari rezeki). Melihat saya dengan tas ransel tergandul besar di bahu, serta merta ia menawari saya untuk menggunakan jasanya. Langsung tanpa menakar dan menimbang, saya terima tawaran itu. Setelah saya menyebut bahwa saya hendak ke stasiun, saya bertanya berapa kira-kira ongkos yang harus saya berikan. Karena kala itu masih sangat pagi, tukang ojek itu mematok harga sebesar Rp 15.000 (eh, atau sepuluh ribu ya?). Entahlah, saya sudah lupa, dan tampaknya amnesia yang mendera saya mulai wajib ditanggulangi :D

Akhirnya saya melancong bersama tukang ojek itu, menyusuri jalanan sepi yang masih dirambati kegelapan. Saya lumayan kedinginan, tapi saya tidak peduli. Satu yang saya inginkan: dapat tiket dan bisa pulang. Saya bisa mati penasaran kalau sampai hari itu pun saya kembali gagal untuk pulang.

Tiba di stasiun, suasana masih belum ramai. Tapi kendati demikian, kendati pintu stasiun pun masih dikunci, beberapa gelintir calon penumpang telah terlihat di sana-sini, menanti dengan tabah sembari duduk-duduk di teras atau berdiri gelisah. Saya merasa aman. Mustahil saya tidak kebagian tiket, begitu pikiran saya. 
Sekitar lima belas menit menunggu, pintu stasiun dibuka. Orang-orang yang sudah tidak sabar untuk masuk langsung menghambur menerobos ambangnya, bahkan setengah berlari, membuat saya yang tersenggol nyaris terpental. Diam-diam saya menghela napas. Bahkan di kondisi pagi yang notabene masih sepi, atmosfer kompetisi sudah mulai menyala dan mengental. How great...

Tak lama setelah saya menggapai posisi antre, para calo terlihat ikut mengantre, bahkan salah satu diantara mereka telah berdiri di posisi paling depan. Dalam batin, saya tergeleng-geleng, terkesima atas kegesitan mereka. Oke, itu tidak masalah. Tapi kemudian terjadi seuntai masalah. Para calo itu menegur para calon penumpang di baris anteran, nyaris satu per satu, dan tebak mereka begitu untuk tujuan apa? Untuk meminta tolong dibelikan tiket. Menitip!

What? Alangkah canggihnya mereka.

Oke, mereka begitu demi cari makan. Tapi tahukah mereka bahwa kelakuan mereka yang satu itu amat tidak terpuji? Saya bisa memaklumi profesi mereka, termasuk alasan-alasan mereka menjadi calo. Tapi menitip tiket pada calon penumpang, kemudian menjualnya pada calon penumpang lain yang tidak kebagian tiket dan tentunya dengan harga yang berkali-kali lipat... sungguh sebuah hal yang lucu. Kejahatan yang rangkap-rangkap. Ajang eksploitasi!

Lalu tibalah giliran saya. Dengan ramah dan lembut salah satu dari calo-calo itu menegur saya, bertanya basa-basi ke mana saya akan pergi, dan ujung-ujungnya meminta tolong untuk dibelikan tiket, dengan wajah menyeruakkan permohonan tinggi. Tapi tunggu dulu. Saya tidak akan sebodoh itu untuk langsung setuju dan berkata: iya. Pertama, saya bukan tergolong orang yang baru naik kereta dua-tiga kali dan tidak tahu bahwa mereka adalah "calo". Kedua, saya adalah "preman" kereta, jadi mana ada preman yang mau dirinya dimanfaatkan.

Dengan santai, saya berkata pada calo itu bahwa saya akan pulang dengan teman-teman saya, dan saya harus membeli tiket lebih dari dua, dan jumlah tersebut merupakan jumlah maksimal tiket yang bisa dibeli. Sebagai info tambahan, sejak dahulu kala memang terdapat peraturan mengenai batasan maksimal tiket yang bisa dibeli oleh calon penumpang, dan petugas loket tidak akan melayani penjualan tiket yang melebihi batasan yang telah ditetapkan.

Akhirnya, si calo menyerah, dengan wajah cukup kecewa ia berpaling pada calon penumpang lain dan melanjutkan aksinya.

Namun demikian, bukan berarti masalah selesai sampai di situ. Jarum jam yang terus bergulir membuat baris antrean kian memanjang dan berdempetan parah. Saya mulai sesak napas, panas, dan mulai tidak betah. Dan keburukan itu tetap harus saya tangani hingga tirai loket dibuka dan prosesi jual-beli tiket resmi digelar.

Tapi naasnya, belum sampai jam tujuh, kondisi anteran telah sampai di titik kacau yang benar-benar meruncing. Orang-orang mulai saling dorong, saling mengimpit, saling mendesak, dan suara-suara gaduh membumbung seperti ocehan lebah. Saya pun jadi tambah tidak betah!

Pukul tujuh kurang lima, para petugas loket tampak berdatangan. Saya merasa ada kelegaan yang menelusupi perasaan saya. Tapi alih-alih langsung membuka tirai loket dan bersiap melayani para calon penumpang, petugas-petugas itu malah duduk rileks sambil mengobrol satu sama lain. Dengan asyiknya. Terkadang tertawa-tawa. Tak peduli para calon penumpang yang bersesak-sesakan di baris anteran, berdiri pegal, kembang-kempis, dan seperti ingin mati.

Mereka tidak peduli. Para petugas itu terus berkicau seolah berada di sebuah kafe yang memang diperuntukkan sebagai tempat bertukar cerita seru, untuk bersantai-santai ria. Oh God, saya menghela napas panjang. Apa lagi yang mereka tunggu? Apa para calon penumpang harus berjatuhan pingsan dulu, baru mereka tergugah untuk menggubris? Baiklah, mungkin ini berkaitan dengan peraturan, bahwa tirai baru akan atau boleh dibuka ketika pukul tujuh teng. Tapi hei... hallow... please look at us... kami yang berada di baris anteran sudah nyaris sekarat! Apa salahnya memajukan waktu pembukaan tirai loket lima menit, just five minute... demi kami, demi para calon penumpang yang tengah dililit kesengsaraan... sengsara!

Namun para petugas loket itu tetap bergeming, tak mau tahu, dan laksana menutup telinga sekalipun suara-suara ocehan dari para penumpang untuk mereka berterbangan, perintah ketus untuk segera membuka tirai keras tercetus, dan ada pula yang menghardik―tepatnya mengancam―akan memecahkan kaca loket saking jengkelnya. 

Pukul tujuh. Tapi perkara ketepatan waktu itu sepertinya cuma retorika. Omong kosong. Para petugas loket itu belum jua bergerak dari duduknya, dan masih meneruskan rumpian mereka yang sepertinya makin hot dan heboh. Jelas keresahan di baris anteran kian jadi kronis. Saya mendengus terang-terangan, dan sumpah, kala itu saya berjanji untuk ikutan berdemo kalau nanti para calon penumpang lain tak lagi bisa mengendalikan amarah mereka. 

Namun rupanya nasib para petugas loket itu masih terselamatkan. Mereka kemudian menyibak tirai dan mulai bergegas melayani para calon penumpang―yang sudah berkeringat basah kuyup, hampir kehabisan napas, dan ingin teriak saking depresi. Dan tak lama, saya pun mendapatkan tiket impian saya―yang saya perjuangan dengan pergulatan alot nan melelahkan.

Dengan lenggangan ringan, saya lantas beranjak menuju gerbong kereta, mengucap selamat tinggal dalam hati pada barisan antrian yang menjalar panjang hingga luar. Dan well, baru saja tiba di deretan kursi tunggu, saya mendengar pengumuman dari pengeras suara yang memberitahukan bahwa tiket kereta telah terjual habis, dan karena itu para calon penumpang yang tidak kebagian harus menunda kepergian hingga esok hari atau mencari alternatif transportasi lain.  

Saya menghela napas. Betapa cepatnya sang tiket―benda keramat itu―terjual tandas. Barangkali perusahaan perkeretaapian harus mencari solusi, menambah rangkaian gerbong kereta atau cara lainnya agar tidak terlalu banyak para calon penumpang ditimpa kemalangan. Datang di pagi buta, ikut mengantre dengan sabar dan penuh harap, tapi mereguk kesia-siaan. Kecewa. Terlunta.

Namun apa pun itu, di hari itu, saya tidak bisa untuk tidak melakukan itu: bersyukur. Saya boleh bersimpati atau bahkan berempati pada orang-orang di luar sana yang entah bagaimana nanti nasibnya, tapi bukankah yang terpenting adalah nasib diri saya sendiri? Saya punya tiket, saya selamat, saya bisa pulang, dan sudah selayaknya saya bersorak: horee!

Nah, demikianlah suka dan dukanya naik kereta api. Sungguh tidak singkat jika mau diceritakan secara lebih rinci. Dan barangkali jari-jari saya akan terbengkak mengetikkannya. Dan meski dalam postingan ini poin duka bahasannya lebih panjang ketimbang bahasan tentang sukanya, saya tetap suka naik kereta, tetap saya menyarankan bagi mereka yang belum pernah merasakan naik kereta untuk mencobanya :D


Note: Tulisan ini tak bermaksud menyinggung atau menjelek-jelekkan pihak mana pun, melainkan semata-mata untuk dipergunakan sebagai sarana berbagi informasi.




*Catatan 10 November 2011.


Tentang Kematian


Tentang Kematian


Sore. Hujan mengalir sendu dari atas sana, seiring mentari yang sengatnya tak mau mundur.  Langit menangis. Sekeliling saya menangis: beragam manusia, udara, bahkan barangkali benda yang tak punya nyawa. 

Wajar. 

Ada yang pergi, tadi pagi. Ada yang terambil, dari hati. Ada yang mengalun kembali ke ranah Illahi. Wanita itu memang sudah terlampau uzur, penyakit itu sudah terlampau mengimpitnya hingga ke taraf tak tertanggungkan, dan mungkin... hari ini memang sudah saatnya ia berpulang. Sepertinya.


Tak ada yang memilu pada batin saya kala pertama saya menjumpai raganya yang terbujur kaku, tak juga ketika saya mengaji lirih di sampingnya, bahkan sewaktu saya mememangku tubuhnya yang dimandikan. Batin saya seolah membeku, menjadi bongkahan es yang kokoh. Namun segalanya berubah tatkala keranda itu mulai dikeluarkan dari rumah duka, dibekali sejenak doa, lalu lambat-lambat dibawa menuju pembaringan terakhirnya. Bongkah es itu seketika hancur, mencair, meluber. Jadi tangis. Dan berbarengan dengan kaki-kaki saya yang mengantarkannya ke rumah baru, saya tergugu. Tidak terlalu keras, bahkan terbilang lirih. Namun saya tahu batin saya disapu perih.


Lantas dalam hening yang berbalut kebisuan saya mengucap ini: berjalanlah engkau... yang kusayang... berbahagialah di semestamu yang telah menunggu. Kini tak lagi ada yang akan mengusikmu, membebanimu, menyumbang derita pada dirimu. Tak juga penyakit itu, karena engkau telah bebas dengan sempurna, merdeka seutuhnya.

Kematian. Sekali lintas kata itu teramat mengerikan. Tak banyak kepala yang tertarik memikirkannya, bahkan terlalu banyak kepala yang mengusir kata itu jauh-jauh layaknya mengusir penjahat laknat. Kalau bisa, dibungkus koper kemudian dibuang ke tengah laut. Agar tak pernah ia gentayangan dan menghantui, membuat takut.

Kematian. Kata itu tak sebatas berhubungan dengan 'melepaskan' dan 'merelakan'. Segenap jiwa kita memang harus melepas dan merelakan mereka-mereka yang beranjak ke sisi Tuhan, tapi tidak berarti setelah itu saja semua akan beres. Ada hal-hal lain yang menggenang dan lantas membentur pemikiran. Kenangan. Cinta yang ikut tersakitkan. Dan ujung-ujungnya... kerinduan. 

Itu pasti. Selama hati belum tumpul dan otak masih normal, kerinduan niscaya bertamu ke ruang waktu. Entah sekali dalam seminggu, atau bahkan selalu. Entahlah, tak ada yang benar-benar tahu. Setiap diri punya grafik rindu yang strukturnya tak akan sama.

Lalu bukan itu saja. Kematian bagi saya juga memapah kita terisap pada konsep hidup. Masih pada saat langkah-langkah saya tadi menghampiri pemakaman, tiba-tiba saya merenung. Ternyata sesingkat inilah hidup, sependek ini. Mulanya saya tak total percaya, dan butuh sebuah peristiwa kematian di hari ini untuk akhirnya saya bisa betul-betul meyakininya. Kematian bak hanya berjarak sejengkalan tangan dari kita, bahkan mungkin lebih minim. Kematian bagai ranjau yang tersebar dan mengintai, dan kita adalah orang-orang yang bergulat di arena perang. Bisa kapan saja ranjau itu terinjak dan kita meledak, tinggal tunggu aba-aba dari Sang Pencipta.

Berikutnya, dalam benang merah yang masih serupa, kematian dengan khidmat menyeret saya untuk meninjau kembali makna kehidupan. Untuk apa embrio kita mengada, untuk apa kita dilahirkan, untuk apa kita tumbuh jadi balita, remaja, dewasa, tua, kemudian lanjut usia. Dan ternyata, jawabannya teramat sederhana: untuk mati.

Ya. Kematianlah muara dari segala-galanya. 

Namun ingatkah kita, bagaimana kita? Seringkali kita bersikap laksana akan hidup lestari, kebal ajal, dan memiliki sejuta nyawa. Kesombongan terus-terusan muncul dan mendominasi, lalu harta dan tahta terus-terusan diburu, diserbu, diperjuangkan meski harus keluar dari batasan halal, menghantam jalur haram, bahkan bertekad untuk terus-terusan begitu hingga mati. Padahal kalau sudah mati? Tamat. Berakhir. Dan seluruhnya otomatis tak berguna.  

Saya, hari ini, sungguh-sungguh menyadarinya. Sadar yang tak hanya pakai kepala, tapi juga mata yang ternganga, hati yang menghayatinya. Tak ada yang kita bawa ketika mati. Tidak handphone, laptop, mobil, gelar atau apa pun itu yang tergolong kemewahan kelas indah. Segala kekayaan mendadak seperti sampah, dan silahkan ambil siapa pun yang tergiur. 

Cuma amal kebaikan yang terserta untuk kita ketika mati, lalu helai kain kafan sebagai pakaian. Maka, sedianya kita menabung kebajikan demi kebajikan dalam bejana fana bernama hidup. Lakukan sebisa mungkin, sekerap mungkin, sehingga kita tak gentar tiap kali disodori ketentuan takdir: ranjau itu ada di mana-mana, bisa membunuh kapan saja.

Cuma dengan bekal kebajikan jalan kita menuju ke tanah itu terterangi, terindangi, dan kita dapat nyaman selamanya meringkuk di sana: rumah baru, yang sejatinya akan ditempati oleh semua dari kita. 

Karena kita dimulai di kehidupan, dan akan selesai di kematian.

Itu realitas yang hakiki.

Grandma... love you always...


*Catatan 14 Juli 2011.