Masih di bulan puasa, sore kemarin saya keluar kos untuk membeli makanan berbuka. Hari sedikit lebih redup dari kondisi pukul lima yang semestinya. Hawa separuh dingin langsung menyerbu saya, menelusup ke tulang-tulang dan berhenti di sana: jiwa.
Sembari terus melajukan kaki, jiwa saya seakan melemah. Dan saya mendapati sesuatu. Mendung itu. Mendung di atas sana. Mendung yang menjadi jelaga bagi angkasa.
Mendung yang sendu. Mendung yang sunyi. Dan ingatkah dia, seseorang itu, ketika mendung serupa memayungi kami dulu? Kami yang bersama, melewati mendung demi mendung tetapi dengan tawa, senyum, dan tanpa pernah terselinap garis-garis air tangis kendati yang tertipis.
Dan kini, pada mendung ini, sesuatu terjadi. Mendung yang tak lagi sama. Dunia yang sudah berbeda. Saya berjalan sendirian di bawah mendung yang kelabu sendu, sunyi dan menyayati. Langkah-langkah saya bak mengambang dan tak menemukan tujuan. Saya bagai terlunta dan terombang-ambing di bawah mendung yang murung.
Mendung yang merana. Mendung yang masih ingin menurunkan air matanya. Dan, mendadak, saya tergerak untuk tengadah ke arah langit dan berkata: kok kita sama, ya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar