Pelita Di Ujung Senja
Awal bulan Desember. Sedemikian berserak hal dan peristiwa tak tercatat, dan tiada terhitung kisah dan momentum yang tak terangkum. Dan segera setelah Desember ini tandas, usia saya akan kembali menua. Impian kian bertumpuk seiring dosa yang bertambah dan melapuk.
Awal bulan di akhir tahun. Mekanisme ini. Saya masih menyebutnya sebagai perjalanan. Dan sebagaimana perjalanan, kaki saya yang melangkah tidak akan pernah berhenti sebelum tiba pada tujuan. Ujung setapak ini. Dan saya tahu yang akan saya temui berwarna-warni.
Saya cuma lelah sesekali. Masih sebegitu jauhnya jarak tempuh saya, dan rasanya tungkai ini mati rasa dan nyaris habis daya. Jadi jangan heran kalau sesekali saya berhenti. Saya butuh menarik napas panjang, menoleh ke sekeliling, demi untuk menemukan energi itu. Dan terkadang saya mendapatkannya dari segala yang saya suka; sepotong bulan, semilir angin, atau langit senja.
Saya akan beringsut lagi setelah energi saya terisi. Mencetak tapak demi tapak. Dan adakah yang tahu bahwa jalanan ini terlalu terjal, selalu terjal? Tertatih saya mengarungi lembah, bukit, bahkan melintasi jembatan rapuh. Ingin saya memohon pada dunia untuk menghamparkan jalan yang apik walau berliku. Namun tiada mungkin. Tiada jalan yang indah selagi status saya adalah manusia yang tidak mempunyai hak untuk merutuk atau merajuk.
Hanya berjalan. Berjalan saja. Entah berkerikil, licin, atau berduri, saya hanya boleh percaya bahwa saya akan sampai di ujung sana jika memang sudah waktunya. Mereka yang bijaksana mungkin jadi kumpulan orang yang lebih dulu percaya. Namun bukan berarti sekarang saya kembali terlambat untuk mempercayai yang selanjutnya, bahwa di ujung jalan sana, pada sebentang senja yang saya suka, akan mekar selarik pelita yang menyinari akhir perjalanan saya.
Sebelum kemudian saya berlalu melayang, terlarung bersama semilir angin dan menetap pada malam yang menutup masa, bersama bulan yang menggenapinya.
Saya cuma lelah sesekali. Dan kini saya tengah sejenak berhenti, menoleh. Namun di mana geliat energi itu? Dan tak ada juga senja. Saya butuh senja. Saya butuh rona langit yang membuat hati saya bergetar dan damai karenanya. Dan haruskah saya berlutut pada dunia untuk memohon agar senja itu terekah sebentar saja? Atau saya pun tak memilki hak untuk mendamba hal sesederhana senja?
Entahlah.
Pada senja saya ingin bercerita. Ingin saya lantunkan seluruh memar di batin saya menjadi sepucuk kidung pilu. Ingin saya sampaikan bahwa saya merindu entah apa. Barangkali semesta saya yang sebenarnya. Bahwa saya jemu dengan rutinitas kantor saya yang kini seolah tak menyuguh jeda, saya kesal pada makhluk-makhluk yang menganggap saya sebahagia mereka, saya marah pada keadaan yang menuntut saya untuk menghimpun materi sebanyak-banyaknya, saya mengamuk pada nasib yang seolah menghendaki saya terluka karena ketulusan saya, dan saya muak... muak pada diri saya!
Saya kepingin berlari kencang. Tunggang langgang. Melupa bahwa di sepanjang jalan ini tersebar kerikil, kelewat licin, dan bertaburan duri-duri tajam. Tetapi saya ngeri kalau-kalau nanti terjatuh atau telapak kaki saya terluka. Jangan. Cukup batin saya. Cukup batin ini yang mengenal dan begitu fasih akan sensasi perih. Cinta yang tak didengar, suara yang tak dilihat, dan isyarat yang tak dirasa.
Terlalu rumit dan kacau. Saya ingin bersampai pada sang senja bahwa cinta murni saya mestinya dirasa, dan saya ingin dicintai walau itu sekali saja di seumur hidup saya. Saya ingin mengungkap bahwa suara ratap yang saya gaungkan mestinya didengar dan beroleh jawabannya. Saya ingin menutur bahwa isyarat halus yang saya tampilkan mestinya dilihat karena itu jelas sekali.
Namun seringnya tiada yang mengerti. Keanehan yang membuat saya bertanya-tanya, di manakah hati, telinga, dan mata? Bukan hanya inderanya, seseorang itu, mereka, tetapi dunia. Saya butuh segala yang manusia butuh agar diri saya seperti utuh. Dan apakah lagi-lagi saya tak berhak untuk mengidamkannya?
Mungkin. Dan mungkin tugas saya adalah berjalan saja, terus berjalan. Tidak perlu bermimpi muluk, tidak usah berangan yang bukan-bukan. Saya telah terlahir begini dan silahkan dunia menghujam karma. Bukan salah saya. Bukan salah siapa-siapa.
Dan walau saya tak berjumpa dengan senja, tetap saya tak bisa berlama-lama berhenti dan harus menjejaki lagi jalanan ini. Masih banyak yang harus saya lewati. Masih banyak yang harus saya alami, dan setiap inci dari segenap perjalanan ini adalah misteri yang harus saya urai hati-hati. Semua misteri akan membawa kejutan, dan sudah semestinya saya siaga. Tiada yang tahu apa yang nanti terjadi. Hanya Tuhan. Dan Dialah satu-satunya dzat yang akan menyambut saya di ujung jalan nanti: cakrawala lestari.
Kini, biarlah saya berlagak dewasa, menyederhanakan ragam pelik ini sehingga saya lebih gampang menghadapinya. Rombak paradigma. Bahwa saya akan tetap dan terus menderita jika tak berhenti menganggap jalan ini terkutuk dan berhawa neraka. Sebaliknya, saya akan seolah dibimbing menuju surga jika menganggap jalan ini petuah berharga.
Jalan ini lebih pantas dijuluki kitab usang namun berisi padatnya ilmu. Darinya saya belajar. Menjadi benar setelah keliru. Menjadi tahu caranya bangkit setelah tersungkur dan sakit. Menjadi tahu bagaimana caranya mengatasi kerikil, kelicinan, dan duri. Jalan ini adalah paket mahal yang menentukan kondisi saya ketika kelak tiba di titik henti itu. Akan saya punguti harta karun; kompas, peta, atau remah roti sebagai petunjuk.
Kini, saya ingin mengusir pergi segala yang meniupkan kabut pada jalan ini. Pergilah saja jika engkau air mata. Batin ini tak layak untuk selalu didera. Dan jalanan ini haruslah terang tanpa penghalang.
Dan nantikan saya... wahai senja dan pelita.
Dan nantikan saya... wahai senja dan pelita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar