Pages

Senin, 01 Desember 2014

Pelita Di Ujung Senja

 Pelita Di Ujung Senja


Awal bulan Desember. Sedemikian berserak hal dan peristiwa tak tercatat, dan tiada terhitung kisah dan momentum yang tak terangkum. Dan segera setelah Desember ini tandas, usia saya akan kembali menua. Impian kian bertumpuk seiring dosa yang bertambah dan melapuk.

Awal bulan di akhir tahun. Mekanisme ini. Saya masih menyebutnya sebagai perjalanan. Dan sebagaimana perjalanan, kaki saya yang melangkah tidak akan pernah berhenti sebelum tiba pada tujuan. Ujung setapak ini. Dan saya tahu yang akan saya temui berwarna-warni.

Saya cuma lelah sesekali. Masih sebegitu jauhnya jarak tempuh saya, dan rasanya tungkai ini mati rasa dan nyaris habis daya. Jadi jangan heran kalau sesekali saya berhenti. Saya butuh menarik napas panjang, menoleh ke sekeliling, demi untuk menemukan energi itu. Dan terkadang saya mendapatkannya dari segala yang saya suka; sepotong bulan, semilir angin, atau langit senja. 

Saya akan beringsut lagi setelah energi saya terisi. Mencetak tapak demi tapak. Dan adakah yang tahu bahwa jalanan ini terlalu terjal, selalu terjal? Tertatih saya mengarungi lembah, bukit, bahkan melintasi jembatan rapuh. Ingin saya memohon pada dunia untuk menghamparkan jalan yang apik walau berliku. Namun tiada mungkin. Tiada jalan yang indah selagi status saya adalah manusia yang tidak mempunyai hak untuk merutuk atau merajuk. 

Hanya berjalan. Berjalan saja. Entah berkerikil, licin, atau berduri, saya hanya boleh percaya bahwa saya akan sampai di ujung sana jika memang sudah waktunya. Mereka yang bijaksana mungkin jadi kumpulan orang yang lebih dulu percaya. Namun bukan berarti sekarang saya kembali terlambat untuk mempercayai yang selanjutnya, bahwa di ujung jalan sana, pada sebentang senja yang saya suka, akan mekar selarik pelita yang menyinari akhir perjalanan saya. 

Sebelum kemudian saya berlalu melayang, terlarung bersama semilir angin dan menetap pada malam yang menutup masa, bersama bulan yang menggenapinya. 

Saya cuma lelah sesekali. Dan kini saya tengah sejenak berhenti, menoleh. Namun di mana geliat energi itu? Dan tak ada juga senja. Saya butuh senja. Saya butuh rona langit yang membuat hati saya bergetar dan damai karenanya. Dan haruskah saya berlutut pada dunia untuk memohon agar senja itu terekah sebentar saja? Atau saya pun tak memilki hak untuk mendamba hal sesederhana senja? 

Entahlah.

Pada senja saya ingin bercerita. Ingin saya lantunkan seluruh memar di batin saya menjadi sepucuk kidung pilu. Ingin saya sampaikan bahwa saya merindu entah apa. Barangkali semesta saya yang sebenarnya. Bahwa saya jemu dengan rutinitas kantor saya yang kini seolah tak menyuguh jeda, saya kesal pada makhluk-makhluk yang menganggap saya sebahagia mereka, saya marah pada keadaan yang menuntut saya untuk menghimpun materi sebanyak-banyaknya, saya mengamuk pada nasib yang seolah menghendaki saya terluka karena ketulusan saya, dan saya muak... muak pada diri saya!

Saya kepingin berlari kencang. Tunggang langgang. Melupa bahwa di sepanjang jalan ini tersebar kerikil, kelewat licin, dan bertaburan duri-duri tajam. Tetapi saya ngeri kalau-kalau nanti terjatuh atau telapak kaki saya terluka. Jangan. Cukup batin saya. Cukup batin ini yang mengenal dan begitu fasih akan sensasi perih. Cinta yang tak didengar, suara yang tak dilihat, dan isyarat yang tak dirasa. 

Terlalu rumit dan kacau. Saya ingin bersampai pada sang senja bahwa cinta murni saya mestinya dirasa, dan saya ingin dicintai walau itu sekali saja di seumur hidup saya. Saya ingin mengungkap bahwa suara ratap yang saya gaungkan mestinya didengar dan beroleh jawabannya. Saya ingin menutur bahwa isyarat halus yang saya tampilkan mestinya dilihat karena itu jelas sekali.

Namun seringnya tiada yang mengerti. Keanehan yang membuat saya bertanya-tanya, di manakah hati, telinga, dan mata? Bukan hanya inderanya, seseorang itu, mereka, tetapi dunia. Saya butuh segala yang manusia butuh agar diri saya seperti utuh. Dan apakah lagi-lagi saya tak berhak untuk mengidamkannya?

Mungkin. Dan mungkin tugas saya adalah berjalan saja, terus berjalan. Tidak perlu bermimpi muluk, tidak usah berangan yang bukan-bukan. Saya telah terlahir begini dan silahkan dunia menghujam karma. Bukan salah saya. Bukan salah siapa-siapa.

Dan walau saya tak berjumpa dengan senja, tetap saya tak bisa berlama-lama berhenti dan harus menjejaki lagi jalanan ini. Masih banyak yang harus saya lewati. Masih banyak yang harus saya alami, dan setiap inci dari segenap perjalanan ini adalah misteri yang harus saya urai hati-hati. Semua misteri akan membawa kejutan, dan sudah semestinya saya siaga. Tiada yang tahu apa yang nanti terjadi. Hanya Tuhan. Dan Dialah satu-satunya dzat yang akan menyambut saya di ujung jalan nanti: cakrawala lestari.

Kini, biarlah saya berlagak dewasa, menyederhanakan ragam pelik ini sehingga saya lebih gampang menghadapinya. Rombak paradigma. Bahwa saya akan tetap dan terus menderita jika tak berhenti menganggap jalan ini terkutuk dan berhawa neraka. Sebaliknya, saya akan seolah dibimbing menuju surga jika menganggap jalan ini petuah berharga. 

Jalan ini lebih pantas dijuluki kitab usang namun berisi padatnya ilmu. Darinya saya belajar. Menjadi benar setelah keliru. Menjadi tahu caranya bangkit setelah tersungkur dan sakit. Menjadi tahu bagaimana caranya mengatasi kerikil, kelicinan, dan duri. Jalan ini adalah paket mahal yang menentukan kondisi saya ketika kelak tiba di titik henti itu. Akan saya punguti harta karun; kompas, peta, atau remah roti sebagai petunjuk.

Kini, saya ingin mengusir pergi segala yang meniupkan kabut pada jalan ini. Pergilah saja jika engkau air mata. Batin ini tak layak untuk selalu didera. Dan jalanan ini haruslah terang tanpa penghalang. 

Dan nantikan saya... wahai senja dan pelita.



Jumat, 29 Agustus 2014

Diam, Meredam, Memendam

Diam, Meredam, Memendam


Saya bukan ingin mengeluh. Sunguh. Saya cuma ingin berkata. Dan saya tidak butuh siapa pun untuk mempercayainya. Cukup saya mengungkapkan segala. Membahasakan tuturan hati yang rasanya tidak sudi untuk menerus dibekap sunyi. Ia ingin bicara. Dan ia harus bicara.

Telah berulang kali saya salah. Telah berulang kali saya menyadari. Namun ketika dera di hati itu mengobrak-abrik lagi, nyatanya saya jatuh di lingkaran yang sama. Iya, saya melakukannya. Dan luka saya menjadi dua kali lipatnya. Batin saya sudah teriris, dan masih pula harus tergilas. Betapa sengsaranya.

Mudah-mudahan bulan ini adalah bulan terakhir saya dibelenggu sika. Sebagaimana saya berdoa di sebelumnya, agar bulan ini menjadi bulan pemulihan. Dan saya tidak akan pernah luput untuk merintih dan menyampaikan pada Tuhan bahwa saya terlalu rapuh untuk mengarugi semuanya. Saya sudah kelewat letih, jenuh, dan jera.

Mungkin saya tidak bisa menjelaskan detail ujian apa yang sedang menerpa hidup saya. Tapi konsep salah yang saya sebut-sebut adalah salah yang, tadinya, saya kira adalah sesuatu yang lumrah. Saya manusia biasa. Saya sendirian di rantau yang jauh. Saya seperti sebatang kara. Saya tidak ada tempat untuk berbagi mengenai wilayah privacy, hingga akhrnya ketika badai tak diharap itu menerjangi saya, dengan tanpa berpikir ulang saya memilih sosok yang satu itu: Ibu.

Kepadanyalah saya bercerita. Pada ibulah saya mengulas dan menyalurkan seluruh impitan yang mendesak saya. Tiada suara ternyaman yang ingin saya dengar kecuali kemengertiannya. Tiada orang terpercaya untuk saya mencurah segala kecuali dirinya. Bagi saya ibu adalah sentral dari jiwa saya, dan semua tentang saya Ibu wajib mengetahuinya. Tetapi, barangkali, semua hal tak selalu sama. Tetapi, barangkali, di titik itulah saya benar-benar salah.

Ibu yang mulanya bersedia menyimak dan mengurai wejangan mendadak seperti mual. Ibu saya marah. Ibu saya menangis, mengerang, terpekik lantang. Ibu tidak mau mendengar dan kenal soal masalah yang satu itu. Masalah lama yang tidak selesai-selesai bak saya memang sengaja memeliharanya. Ibu saya seakan lelah. Ibu saya seakan kecewa karena saya kembali salah.

Hingga kemudian saya memutuskan untuk memaklumi, memahami, dan menarik diri. Saya mencoba belajar lagi dari pengalaman yang terus serupa. Berusaha menelaaah lagi. Berupaya instropeksi. Mengevaluasi. Dan inilah akhirnya kesimpulan saya: bodoh, saya bodoh!

Dari situlah saya menyesal karena telah membebani Ibu saya, membebani jiwa saya karena telah membuat ibu nelangsa. Sungguh saya berjanji untuk tidak lagi-lagi melakukannya. Walau entah nantinya hati saya benar-benar retak atau luluh lantak. Saya kini pintar lantaran terus belajar, sebagaimana saya kenyang dengan rasa malang.

Lupakan. Mungkin saya terlampau mendramatisasi. Yang jelas saya telah memetik hikmah dari sebuah makna berjudul "salah". Kini saya punya paradigma sendiri. Kadang-kadang kamu harus diam walau hatimu sesak dan tak tahan untuk tidak bercerita, hanya agar seseorang atau lebih dari satu orang tidak terluka karena jadi pendengarmu. Karena kadang-kadang apa yang menjadi sesakmu dan ingin kamu ceritakan adalah suatu hal menyakitkan yang tidak ingin dia atau mereka dengar.

Lalu petuah lain terpetik. Berasal dari olah pikir dan perenungan relung. Bahwa orang-orang tidak perlu melihat kamu menangis, dan tersenyum adalah peraturan pertama yang harus kamu cipta dan kamu patuhi agar hidupmu tidak tampak menyedihkan. Kadang-kadang kamu harus jadi sosok yang cerdik mengelabui, dengan senyum itu, dengan wajahmu yang dibuat seolah ceria dan hatimu baik-baik saja.

Saya baik-baik saja. Akan berusaha untuk baik-baik saja. Harus baik-baik saja karena sudah seharusnya. Sekalipun saya seperti sendiri. Sekalipun tidak ada yang mengerti. Yang saya yakini, Tuhan pasti tahu dan selalu membantu. Yang saya percaya, Tuhan selalu ada. Itu saja. Dan saya akan tetap dan konsisten mematuhi peraturan saya yang selanjutnya. Sebentuk peraturan yang harus saya ikuti dan harus saya jalani. Tiga makna yang terangkum dalam tiga kata.

Diam. Meredam. Memendam.

Saya cuma harus diam, meredam apa pun yang ingin saya utarakan, ke pada siapa pun, jika itu mengusik atau bahkan melukainya, saya harus memendam semuanya sendirian, tanpa boleh mengadu, menyampaikan bahwa hati saya terlalu pilu. Saya harus diam. Meredam. Memendam. Tanpa siapa-siapa. Tak apa-apa. Tuhan ada. Senantiasa ada.

Minggu, 13 Juli 2014

Petang Ini, Mendung Yang Ini


Petang Ini, Mendung Yang Ini




Masih di bulan puasa, sore kemarin saya keluar kos untuk membeli makanan berbuka. Hari sedikit lebih redup dari kondisi pukul lima yang semestinya. Hawa separuh dingin langsung menyerbu saya, menelusup ke tulang-tulang dan berhenti di sana: jiwa.

Sembari terus melajukan kaki, jiwa saya seakan melemah. Dan saya mendapati sesuatu. Mendung itu. Mendung di atas sana. Mendung yang menjadi jelaga bagi angkasa. 

Mendung yang sendu. Mendung yang sunyi. Dan ingatkah dia, seseorang itu, ketika mendung serupa memayungi kami dulu? Kami yang bersama, melewati mendung demi mendung tetapi dengan tawa, senyum, dan tanpa pernah terselinap garis-garis air tangis kendati yang tertipis.

Dan kini, pada mendung ini, sesuatu terjadi. Mendung yang tak lagi sama. Dunia yang sudah berbeda. Saya berjalan sendirian di bawah mendung yang kelabu sendu, sunyi dan menyayati. Langkah-langkah saya bak mengambang dan tak menemukan tujuan. Saya bagai terlunta dan terombang-ambing di bawah mendung yang murung.

Mendung yang merana. Mendung yang masih ingin menurunkan air matanya. Dan, mendadak, saya tergerak untuk tengadah ke arah langit dan berkata: kok kita sama, ya?

Senin, 09 Juni 2014

Untuk Dia


Untuk Dia


April yang galau. Dan hari ini ia kembali menangis. Malam ini. Air mata itu sudah bagaikan hujan di bulan Januari. Ia sepertinya sudah mulai lelah, mulai ingin menyerah. Namun kendati ia tahu ia lelah, tetap ia tidak tahu bagaimana caranya menyerah, apakah ia sudah harus benar-benar menyerah, dan apa yang ia dapat setelah ia menyerah.

Ia tidak tahu.

Tapi ia selalu tahu, bahwa hingga kini hidup masihlah sama. Tidak adil. Dua kutub yang ia lihat dan ia pijak amat sangat tidak seimbang. Kakinya begitu limbung, dan berkali-kali ia hendak jatuh. Dan seringkali ia menatapi sekeliling. Dunia gelap seolah tak ada matahari. Ia tinggal seorang diri di bumi ini. Tanpa punya penolong, penguat, tempat untuk menyampaikan cerita.

Takdir bagai roda yang berputar cepat nan monoton. Terus melaju tanpa kenal kompromi, dan sekalipun ia telah berteriak "berhenti" sekian kali, tetap roda itu tak mau tahu. 
Kejam. 

Itulah yang membawanya kembali meringkuk, di bulan April ini, menghujankan tangis sekerap air langit yang membasahi bumi di bulan Januari.

Buminya. Yang sungguh gulita bagai tak diguyuri sinar surya.

Namun meski demikian, belum jua ia jera. Kembali ia masuk ke dalam kamar untuk berdoa. Meminta keajaiban pada Tuhan, mukjizat, anugerah, atau apa pun itu yang bisa mendatangkan rasa bahagia untuk dirinya.

Dia. Yang teraniaya. 


*Catatan 11 April 2012.

Cinta Tetaplah Kita


Cinta Tetaplah Kita



Bersuaka di pelukmu...
Aku dapatkan pelabuhan agung itu
Kau mendebarkan darah penyayang
Tak mau aku melepas lagi
Berbisik di pelukku...
Kau temukan mimpi sederhana itu
Aku menjalarkan napas pengasih
Tak mau engkau melepas lagi
Bila nanti kita terlerai, berpisah karena badai...
Peluk itu tetaplah hidup lestari
Sarana untukku berlindung diri, kau menuturkan dengan teliti
Dan cinta tetaplah kita
Perpaduan kamu dan aku 

*Catatan 26 Februari 2012.

Saya VS Angka



Saya VS Angka



 Seminggu penuh di awal bulan ini merupakan masa-masa yang bikin otak saya berasap, bahkan melepuh. Betapa tidak? Untuk kali pertama dalam hidup, saya harus bertempur keras dengan hal yang paling tidak saya sukai: angka!

Barangkali jadi akuntan tidaklah terlalu sulit, apalagi jika telah tahu teknik me-manage pekerjaan tersebut. Tapi bagi saya yang pemula, dan lebih spesifik lagi "saya yang membenci angka"... jadi akuntan lebih seperti sebuah karma. Sungguh-sungguh karma.

Sedari kecil saya memang tidak pernah cocok dengan segala macam yang berbau hitung-hitungan. Saya termasuk salah satu manusia yang mengutuki pelajaran matematika, dan bahkan pernah tercetus oleh saya: untuk apa sih pelajaran matematika ada di dunia ini? Berangkat dari perkara itu, nilai matematika saya sudah pasti selalu jelek. Tidak pernah dapat delapan di rapor, dan bahkan pernah dua kali nilai matematika di rapor saya merah padahal saya juara kelas.

Ketika masuk sekolah kejuruan setingkat SMA pun saya tidak memilih jurusan akuntansi. Benar-benar saya malas terlilit dan terbelit oleh angka-angka yang menyulitkan. Saya ingin kehidupan sekolah saya santai, dan ketika masuk di bangku kuliah saya juga tetap mengambil jurusan yang aman-aman saja, yang artinya tidak berjumpa terlalu sering dengan mata kuliah hitung-menghitung, hingga... hari itu tiba.

Ya, hari itu, hari ketika saya memutuskan untuk menerima pekerjaan sebagai staf akuntan. Sejenak saya merenung, menganalisa apakah tindakan saya tepat atau tidak, dan apakah saya sedang khilaf, gila, atau... tapi ternyata tidak. Saya sadar akan apa yang telah saya tetapkan, saya melakukannya bukan semata karena emosi sesaat, dan saya masih waras. Satu yang kemudian jadi pertanyaan saya: bagaimana nanti kedepannya?

Dan muncullah fase-fase serba tak terduga itu. Mendadak dunia saya jungkir balik. Angka-angka seakan telah merombak habis kenyamanan saya, menyulap ritme hidup saya yang tadinya sederhana menjadi kompleks dan ribet, menghadiahi saya napas kembang-kempis, jantung yang tersesakkan, energi yang terkuraskan, mental yang diuji, kestresan tingkat tinggi, membuat saya bak dikejar-kejar anjing abnormal. Angka-angka jadi makanan saya sejak hari itu, jadi rutinitas pekerjaan yang mau tidak mau harus saya tangani. Saya seakan menceburkan jiwa dan raga ke lubang buaya. Bunuh diri. Tapi anehnya, saya tidak jua ingin mundur.

Memang, kepala saya kerap dirajam penat oleh angka-angka yang saya temui nyaris setiap hari, mata saya sering berkunang-kunang, dan pandangan saya berputar-putar. Tapi inilah takdir. Realitas. Barangkali saya mual, muak, dan mau muntah. Tapi sejak awal saya ditawari pekerjaan itu, satu yang terselip di pikiran saya: apa salahnya kalau saya mencoba dunia baru?

Ya. Dunia yang betul-betul tidak pernah saya impikan. Bukan bekerja sebagai staf administrasi biasa seperti yang saya idami, bukan pula sebagai pekerja yang berkecimpung di bidang kepenulisan. Semesta baru. Objek baru. Bahan mainan baru. Dan satu alasan saya ketika mantap untuk menerimanya: saya ingin mendapat pengalaman yang menakjubkan.

Dan sedikit-banyak saya telah merengkuhnya kini. Sekalipun di awan bulan depan saya kembali harus bergulat dengan laporan-laporan accounting yang menyiksa, kembali meronta setengah mati, kembali berdarah-darah. Saya tidak akan mundur. Karena apa? Karena saya tipe pejuang, bukan pecundang.

Saya VS angka. Lucu. Dan nampaknya itu istilah yang telah kadaluarsa. Sekarang saya seolah telah menyatu dengan angka, bersahabat, dan bahkan saling mengasihi. Saya cuma harus lebih gigih belajar, ulet, dan membiasakan diri. Tak ada hal yang tidak bisa ditaklukkan di bumi ini selama kita mau, meski pada mulanya kita memang tidaklah mampu.

Saya VS angka. Demi pertempuran itu saya merelakan diri saya tak ubahnya pekerja rodi, beraktivitas dari pagi hingga malam, diganggu oleh kalkulasi busuk di alam mimpi, dan mencecap sebentuk hayat yang laksana tak lagi wajar. Tidak apa. Sekarang memang saya tengah berevolusi, berkembang menjadi manusia baru yang sibuk mengunyah santapan asing dan siap-siap menelan sensasinya. Semoga sungguhan menakjubkan. Semoga segalanya menyertakan hikmah, walau mekanismenya tidak senantiasa indah.

Dan berkat kejadian ini, tiba-tiba batin saya terbetik oleh sesuatu. Barangkali selama ini saya tidak membenci angka, hanya menakutinya. Dan sudah hukum alam untuk kita bertabrakan dengan apa yang kita takutkan. Pasti. Dan ketika siapa pun tidak sanggup dan tidak mungkin menghindar lagi selayak saya, maka tak ada pilihan lain kecuali menghadapinya. Karena seperti kata pepatah, cuma itulah satu-satunya cara agar ketakutan tersebut terkalahkan... terhancurkan.

Percayalah.


*Catatan 11 Februari 2012.

A New Life


A New Life


Hari ke 365 (atau ke 366?)

Entahlah, itu tak lagi penting. Yang jelas ini adalah hari terakhir di bulan Desember. Hari terakhir di tahun 2011.



Dalam hitungan jam, gema suara terompet akan membeludaki udara, beradu dengan gebyar kembang api yang membuncah seakan ingin membakar langit. Tahun yang baru. Betapa momentum dan sakralnya detik itu, hingga sebagian orang seolah berdosa jika tidak merayakannya. Dan saya? Hmm... saya bingung menjawab. Atau barangkali punya banyak jawaban? 

Entahlah, itu tak lagi penting. Yang jelas saya pun seperti mereka, berdebar-debar   menyambut pergantian hari, bulan, tahun. 




2012. Akan ada apakah di sana? Segudang teka-teki tentu melambung dari banyak benak, tak pula ketinggalan saya. Terlalu banyak kisah yang telah saya lalui di tahun 2011, terlalu banyak kepahitan hingga rasanya saya mual dan ingin muntah, terlalu banyak perenungan, dan tentunya terlalu banyak kebahagiaan yang saya impikan dan saya doakan dalam setiap komunikasi yang terjalin antara saya dan Tuhan.

Saya ingin ada perubahan, seperti pun semua orang di dunia ini. Saya ingin kepahitan di tahun 2011 tak akan terulang di tahun depan, atau paling tidak kepahitan itu terkurangi. Dan terutama, saya ingin kebahagian-kebahagiaan yang menjadi ekspektasi saya dapat mewujud satu per satu di tahun yang telah berganti baru.



Oke, saya rasa cukup, saya tidak ingin kelamaan curhat dan menciptakan kebosanan. Barangkali akan jauh lebih indah jika saya membicarakan tentang euforia yang senantiasa menjejali malam tahun baru. Malam nanti.


Saya sependapat bahwa pergantian tahun layak dirayakan. Tapi menurut saya tidak harus, apalagi wajib. Alangkah baiknya jika pergantian tahun diisi oleh ajang evaluasi diri, perencanaan masa depan, dan deretan impian baru. Jujur, nanti malam saya hendak mencoba berkontemplasi, mengeja dan membaca apa-apa saja kekeliruan saya di tahun 2011 ini (yang pastinya banyak sekali). Saya pun hendak menyusun struktur rencana, apa-apa saja yang akan saya lakukan di tahun mendatang. Tak ketinggalan, dalam hati saya hendak mengukir mimpi-mimpi baru (dan yang ini pastinya jauh lebih banyak).


Mungkin saya terkesan aneh, sok bijak, atau entahlah apa sebutannya. Tapi hal-hal di atas, menurut saya, adalah hal-hal krusial yang layak ditindakkan, harus, bahkan wajib. Akan memberi manfaat? Tentu. Tapi jika pun tidak, dengan begitu, minimal kita telah terjelma menjadi manusia dewasa. Menghiasi pergantian tahun tidak semata-mata dengan raungan terompet dan ledakan kembang api. Ada yang lebih bermakna ketimbang melakoni ritual-ritual itu, dan barangkali dapat membantu kita dalam upaya menggapai takdir yang baru. Kehidupan baru.

Namun meski demikian, bukan berarti saya membenci suara terompet dan mengantipati kembang api. Saya suka keduanya, lebih-lebih kembang api. Saya terkagum-kagum setiap kali letupan kembang api menghiasi angkasa hitam, takjub pada gemuruh bunyi yang diseruakkannya, dan nuansa yang timbul karenanya. Dan mudah-mudahan, malam ini langit tidak meluruhkan hujan, supaya saya bisa menyaksikan eloknya percik kembang api... jika tetangga saya menyalakannya :D


Anyway, sepertinya tahun depan akan jadi hidup yang benar-benar baru untuk saya, karena kemarin malam, sekitar pukul satu kurang, novel saya selesai. Huf. Saya bahagia dan puas. Dan sekalipun naskah panjang itu masih perlu direparasi, diedit sana sini, setidaknya saya sudah punya tabungan untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya, tapak demi tapak.


Dan sekarang, walau tidak ada lawan bicara dan tak pula ada yang mendengar, tetap saya ingin mengucapkan: selamat menyambut tahun baru, semoga di tahun depan kita mendapat karunia yang lebih gigantis dibanding tahun yang sudah-sudah.


Dan semoga kita lebih pandai bersyukur.


Cheers... :)

 
*Catatan 31 Desember 2011.