Pages

Jumat, 29 Agustus 2014

Diam, Meredam, Memendam

Diam, Meredam, Memendam


Saya bukan ingin mengeluh. Sunguh. Saya cuma ingin berkata. Dan saya tidak butuh siapa pun untuk mempercayainya. Cukup saya mengungkapkan segala. Membahasakan tuturan hati yang rasanya tidak sudi untuk menerus dibekap sunyi. Ia ingin bicara. Dan ia harus bicara.

Telah berulang kali saya salah. Telah berulang kali saya menyadari. Namun ketika dera di hati itu mengobrak-abrik lagi, nyatanya saya jatuh di lingkaran yang sama. Iya, saya melakukannya. Dan luka saya menjadi dua kali lipatnya. Batin saya sudah teriris, dan masih pula harus tergilas. Betapa sengsaranya.

Mudah-mudahan bulan ini adalah bulan terakhir saya dibelenggu sika. Sebagaimana saya berdoa di sebelumnya, agar bulan ini menjadi bulan pemulihan. Dan saya tidak akan pernah luput untuk merintih dan menyampaikan pada Tuhan bahwa saya terlalu rapuh untuk mengarugi semuanya. Saya sudah kelewat letih, jenuh, dan jera.

Mungkin saya tidak bisa menjelaskan detail ujian apa yang sedang menerpa hidup saya. Tapi konsep salah yang saya sebut-sebut adalah salah yang, tadinya, saya kira adalah sesuatu yang lumrah. Saya manusia biasa. Saya sendirian di rantau yang jauh. Saya seperti sebatang kara. Saya tidak ada tempat untuk berbagi mengenai wilayah privacy, hingga akhrnya ketika badai tak diharap itu menerjangi saya, dengan tanpa berpikir ulang saya memilih sosok yang satu itu: Ibu.

Kepadanyalah saya bercerita. Pada ibulah saya mengulas dan menyalurkan seluruh impitan yang mendesak saya. Tiada suara ternyaman yang ingin saya dengar kecuali kemengertiannya. Tiada orang terpercaya untuk saya mencurah segala kecuali dirinya. Bagi saya ibu adalah sentral dari jiwa saya, dan semua tentang saya Ibu wajib mengetahuinya. Tetapi, barangkali, semua hal tak selalu sama. Tetapi, barangkali, di titik itulah saya benar-benar salah.

Ibu yang mulanya bersedia menyimak dan mengurai wejangan mendadak seperti mual. Ibu saya marah. Ibu saya menangis, mengerang, terpekik lantang. Ibu tidak mau mendengar dan kenal soal masalah yang satu itu. Masalah lama yang tidak selesai-selesai bak saya memang sengaja memeliharanya. Ibu saya seakan lelah. Ibu saya seakan kecewa karena saya kembali salah.

Hingga kemudian saya memutuskan untuk memaklumi, memahami, dan menarik diri. Saya mencoba belajar lagi dari pengalaman yang terus serupa. Berusaha menelaaah lagi. Berupaya instropeksi. Mengevaluasi. Dan inilah akhirnya kesimpulan saya: bodoh, saya bodoh!

Dari situlah saya menyesal karena telah membebani Ibu saya, membebani jiwa saya karena telah membuat ibu nelangsa. Sungguh saya berjanji untuk tidak lagi-lagi melakukannya. Walau entah nantinya hati saya benar-benar retak atau luluh lantak. Saya kini pintar lantaran terus belajar, sebagaimana saya kenyang dengan rasa malang.

Lupakan. Mungkin saya terlampau mendramatisasi. Yang jelas saya telah memetik hikmah dari sebuah makna berjudul "salah". Kini saya punya paradigma sendiri. Kadang-kadang kamu harus diam walau hatimu sesak dan tak tahan untuk tidak bercerita, hanya agar seseorang atau lebih dari satu orang tidak terluka karena jadi pendengarmu. Karena kadang-kadang apa yang menjadi sesakmu dan ingin kamu ceritakan adalah suatu hal menyakitkan yang tidak ingin dia atau mereka dengar.

Lalu petuah lain terpetik. Berasal dari olah pikir dan perenungan relung. Bahwa orang-orang tidak perlu melihat kamu menangis, dan tersenyum adalah peraturan pertama yang harus kamu cipta dan kamu patuhi agar hidupmu tidak tampak menyedihkan. Kadang-kadang kamu harus jadi sosok yang cerdik mengelabui, dengan senyum itu, dengan wajahmu yang dibuat seolah ceria dan hatimu baik-baik saja.

Saya baik-baik saja. Akan berusaha untuk baik-baik saja. Harus baik-baik saja karena sudah seharusnya. Sekalipun saya seperti sendiri. Sekalipun tidak ada yang mengerti. Yang saya yakini, Tuhan pasti tahu dan selalu membantu. Yang saya percaya, Tuhan selalu ada. Itu saja. Dan saya akan tetap dan konsisten mematuhi peraturan saya yang selanjutnya. Sebentuk peraturan yang harus saya ikuti dan harus saya jalani. Tiga makna yang terangkum dalam tiga kata.

Diam. Meredam. Memendam.

Saya cuma harus diam, meredam apa pun yang ingin saya utarakan, ke pada siapa pun, jika itu mengusik atau bahkan melukainya, saya harus memendam semuanya sendirian, tanpa boleh mengadu, menyampaikan bahwa hati saya terlalu pilu. Saya harus diam. Meredam. Memendam. Tanpa siapa-siapa. Tak apa-apa. Tuhan ada. Senantiasa ada.